TOLÕGU DI ALAM PEMIKIRAN NIHA RAYA
Di kalangan orang Nias, tolögu adalah suatu benda yang tidak
asing dalam kehidupan mereka. Boleh
dikatakan benda ini adalah bagian yang tak terpisahkan dengan para pria dewasa
khususnya di Nias Selatan (Niha Raya) sampai kurun waktu 1960. Kemana mereka pergi benda ini selalu “menemani”
mereka. Tolõgu adalah nama pedang khas Nias
Selatan.
Tiga orang ilmuan beda jaman yaitu Schröder,
Feldman dan Viaro menulis nama pedang ini dengan sebutan telögu. Pertanyaannya
apakah pelabelan dengan nama telögu adalah satu kesalahan penulisan
atau itu nama sesungguhnya?
Berawal dari pertanyaan ini dan
karena minimnya informasi yang memadai tentang tolögu maka saya mencoba mengulas
tentang tolögu ini dari perspektif
Niha Raya berdasarkan pengalaman saya sebagai seorang yang merasakan nuansa kehidupan
di era 70an di Bawömataluo.
Kurun waktu 1970 sampai dengan
1980 di Bawömataluo
Pembatasan kurun waktu era 70an disini penting karena nuansa kehidupan saat itu di Bawömataluo merupakan satu masa transisi ke era 80an dimana pengaruh teknologi dan keterbukaan mulai mempengaruhi pola kehidupan sosial masyarakatnya. Di Bawömataluo terjadi perubahan yang sangat cepat terutama pada tahun 1974 ketika kapal pesiar rutin berkunjung membawa wisatawan macanegara berkunjung ke Bawömataluo. Para wisatawan membeli banyak benda-benda milik warga saat itu, seperti patung, pedang, kalung taring babi dsb. Bahkan mata uang dolar menjadi salah satu alat tukar yang bisa digunakan saat itu selain rupiah.
Di era 70an ini, hal-hal yang
berbau mistis masih kental dalam kehidupan masyarakat saat itu.
Pertanyaan-pertanyaan tentang seputar alam sekitar masih selalu dikaitkan
dengan mitologi. Misalkan saja bila ada satu kampung yang terbakar kemudian
pada malam-malam hari berikutnya di langit terlihat ada semacam cahaya merah
yang berkelip-kelip dan bergerak (mirip lampu pesawat yang terlihat pada malam
hari yang tertutup awan), objek itu dianggap sebagai hantu yang mengakibat
kebakaran. Dalam sebutan lokal hantu ini dinamakan “silataona”. Bila seseorang melihat “silataona” di langit ia akan berteriak “silataona” dan orang yang mendengar dan melihat hal yang sama akan
berteriak “ho…ho…” dan seluruh warga
desa akan berteriak hal yang sama. Tujuan adalah untuk membuat malu hantu
tersebut. Bila fenomena ini sekarang terjadi, orang akan beranggapan itu sebagai
lampu pesawat yang terlihat pada malam hari yang tertutup awan sehingga
kelihatan berkelip-kelip.
Atau ketika ada satu mobil yang
terbalik di lokasi Mosiholidanö sekitar tahun 1976, mulai dari sopir hingga
para korban memberi kesaksian bahwa peristiwa tersebut disebabkan oleh karena
ada roh gentayangan yang menghadang mobil tersebut. Untuk mengusir roh-roh tersebut
diadakan ritual memberi makan seekor kucing yang diyakini akan mengusir roh-roh
tersebut sehingga tidak lagi mencelakai orang karena kucing (mao) diidentikkan dengan harimao (baca famadaya
harimao) yang akan mengusir petaka dan memakan lumölumö. Pengertian lumölumö
disini bukan sekedar bayangan tetapi "penggambaran". Sebagai
representasi materi tubuh dengan kata lain meminjam materi yang diturunkan dari
‘manusia yang hidup’ Schröder (1917).
Dari dua peristiwa di atas tergambar
dalam benak kita bahwa dalam kurun waktu tersebut nuansa mistisnya masih sangat
terasa dan terlebih lagi bila kita bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya
dimana semua gerak hidup masyarakatnya pasti selalu berhubungan dengan kekuatan
mistis.
Dibalik Nama Tolögu Terkadung Makna
Orang Nias menyebut nama pedang khasnya dengan sebutan tolögu. Dari catatan yang ada seperti yang ditulis oleh Schröder, Feldman dan Viaro, nama pedang ini ditulis dengan nama telögu. Menjadi pertanyaan mengapa satu objek bisa berbeda nama, mana yang benar tolögu atau telögu? Dua nama ini saja telah menimbulkan kebinggungan, apalagi bila kita merujuk pada nama seperti yang dituturkan oleh Ama Fima Fau cucu Saönigeho kepada penulis bahwa dulu nama pedang ini sering disebut juga Sedawa Mölö. Dengan sebutan yang berbeda-beda ini tentu saja semakin membinggungkan bila tidak penjelasan.
Agar kita bisa memahami mengapa
pedang ini memiliki tiga sebutan mari
terlebih dahulu kita
lihat mengapa disebut Sedawa Mölö seperti penuturan Ama Fima.
Berikut ini saya menampilkan silsilah leluhur di Nias Selatan berdasarkan versi
yang dituturkan di Bawömataluo
sbb:
Bagan Silsilah yang diceritakan di Bawomataluo serta silsilah yang ditulis oleh Schroder (warna hitam) |
Bagan di atas memberikan
informasi bahwa Sedawa mempunyai
anak bernama Famölö yang dikenal dengan panggilan Mölö. Mölö memiliki anak bernama Fau, Takhi, Hondrö, Boto, Maha, Lalu dan Zinö. Keturunan anak-anak Mölö ini membentuk kelompok yang dikenal Ono Fau, Ono Takhi, Ono Hondrö, Ono Boto, Ono Maha, Ono Lalu dan Ono Zinö, dan sekarang nama-nama ini dikenal menjadi marga utama dalam persebaran rumpun masing-masing turunan. Merujuk
pada silsilah di atas dapat
dilihat bahwa Sedawa dan Mölö adalah leluhur orang Nias di Selatan.
Bagi orang Nias leluhur merupakan figur yang membawa berkat, menjaga dan selalu dekat dengan anak-anaknya sekalipun mereka sudah meninggal. Hal ini bisa dilihat bagaimana orang Nias memperlakukan leluhurnya dengan membuat apa yang disebut dengan adu zatua (patung leluhur) dan ditempatkan di altar yang disebut nahia nadu. Hubungan yang dekat ini diungkapkan dalam satu ungkapan “ha sadana gotaluada ira nuwuda” artinya hanya setelapak tangan jarak kita dengan leluhur kita. Relasi yang sangat dekat ini bisa juga dilihat saat orang tua memberkati anak-anaknya, mereka mengatakan “Ya’aoha gölögu khöu, ya’aoha gölö namagu khöu, ya’aoha gölö ninagu khöu ba ya’aoha gölö zisiwa götö niha khöu” artinya kemurahan hati saya menaungimu, kemurahan hati bapak saya menaungimu, kemurahan hati ibu saya menaungimu dan kemurahan hati para leluhur (hingga sembilan generasi) menaungi hidupmu.
Kedekatan hubung antara leluhur
dengan generasinya oleh keturunannya Mölö diabadikan menjadi nama pedang yang awalnya
disebut Sedawa Mölö. Pemberian nama ini bertujuan agar leluhurnya
selalu menyertai mereka kemana pun mereka pergi, entah itu dalam pertempuran
sekalipun. Mereka percaya dan yakin
bahwa roh leluhur itu melekat dengan pedangnya oleh karena itu pedang ini selalu
dibawa bila berpergian dan mereka memperlakukan pedang itu dengan sangat hormat
yang disebut la’amoni’ö.
Sebutan Sedawa Mölö boleh dikatakan tidak popular dikarenakan “putusnya” ikatan emosional dengan leluhurnya. Ketika agama masuk ke Pulau Nias penghormatan leluhur dalam manifestasi adu zatua dan pengkultusan leluhur dalam wujud benda dianggap sebagai berhala sehingga ada gerakan membuang berhala-berhala dari budaya lokal. Alasan lain tidak populernya Sedawa Mölö yaitu penambahan marga di belakang nama seseorang menyebabkan ada perasaan, saya bukan bagian dari keturunan Mölö sehingga terbentuk perasaan in group-out group yang memuncak pada terbentuknya kelompok gana dalam setiap banua. Padahal sesungguhnya kalau ditelusuri lebih jauh semuanya berasal dari rumpun yang sama. Ketika Belanda berkuasa di Pulau Nias, oleh pemerintah Belanda saat itu mewajibkan penggunaan mado (marga) dan öri (wilayah) untuk tujuan sebagai alat kontrol dan sifatnya mengkotak-kotakkan sehingga sangat menguatkan kohesivitas kelompok.
Beda halnya dengan
Ama Fima
(salah seorang informan Jerome Feldman tahun 1974) Jerome Feldman dalam
disertasinya tahun 1977 memberi keterangan pedang milik Ama Fima dengan sebutan
telögu bukan dengan sebutan tolögu. Bahkan beberapa waktu yang lalu
pada laman fecebooknya Prof. Jerome Feldman tetap menggunakan sebutan telögu untuk sebutan pedang tersebut.
Demikin juga halnya dengan Viaro menggunakan nama telögu untuk mendeskripsikan pedang khas Nisa ini, the headhunters’ ceremonial sabre (telogu, balatu sebua) has a longer and, in rare cases, wider blade than the domestic knives.
Satu penjelasan mengapa nama
pedang ini disebut telögu, menurut Schröder
(1917) sebutan telögu merujuk pada
nama leluhur orang Nias di Selatan. Ia menulis bahwa Telögu adalah putra dari Lowalani
yang diturunkan dari langit ke bumi dan nama Telögu digunakan menjadi nama pedang.
Johannes M. Hämmerle (1990) memberi
cataan kaki tentang nama telögu dalam
bukunya Omo Sebua bahwa Sadawa Mölö sama dengan Telögu. Penjelasan ini didapat dari informan hoho dari Hilinawalö Fau
yaitu Ama Sama Bu’ulolo yang menuturkan tentang Inada Simadulo Hösi. Telögu
adalah nama leluhur orang Nias yang disebut Sitelögu
ba luaha, dan sebagaimana kebiasaan orang Nias nama leluhurnya selalu
digunakan oleh keturunannya. Jejak penggunaan nama ba luaha dapat kita temukan pada nama keturunan Takhi yaitu Sakao ba luaha.
Baik penuturan Ama Fima maupun
yang ditulis oleh Feldman, Johannes Hammerle dan Schröder, memberi satu
penjelasan yang sama bahwa pedang khas Nias yang dikenal dengan tolögu adalah nama leluhur orang Nias
Selatan yang dijadikan sebagai nama pedang. Sehingga kita bisa memahami mengapa orang
Nias memberikan pelakuan yang khusus (la’amoni’ö
sibai) pada pedang ini, karena mereka meyakini pedang ini merupakan
representasi adanya leluhurnya. Karena itu pedang leluhur bukanlah benda yang
boleh dilepaskan dari pemiliknya (dibaca keturunannya) atau untuk
diperjualbelikan. Memperjualbelikan pedang pusaka sama artinya memutuskan
hubungan dengan leluhur yang dapat mendatangkan ketidakmujuran dalam hidupnya. Karena
ketika pedang ini dibuat, pemiliknya telah “menghadirkan” kekuatan magis pada
pedang tersebut untuk melindungi pemiliknya. Kalau pun sekarang ini kita banyak
menemukan tolögu bisa diperjualbelikan, itu
semata-mata karena sebagai souvenir atau cenderamata dan masyarakatnya telah
beragama.
Viaro mengutip Modigliani (1890) yang mengatakan bahwa “Mereka menganggap sebagai suatu kemalangan jika kehilangan patung berhala beserta jimat-jimatnya, karena mereka percaya akan adanya pembalasan dendam dari orang tua mereka yang kepalanya telah dipenggal dan takut akan roh-roh jahat yang dipanggil oleh para korban sehingga menghantarkan mereka pada kematian”.
Seiring berjalannya waktu dan menyebarnya
karya misi di Pulau Nias, serta mulai membanjirnya wisatawan macanegara sejak tahun
1974 hal-hal yang berkaitan dengan dunia magis mulai ditinggalkan oleh orang
Nias. Sejak saat itu banyak benda-benda pusaka menjadi incaran para kolektor
termasuk pedang tolögu mulai
diperjualbelikan.
Di bawah ini saya menggunakan foto tolögu sebagai ilustrasi. Tolögu ini saya berikan nama Tolögu Lawazihonö dan Sedawa Laowö sebagai tanda penghormatan saya kepada leluhur generasi pertama Bawömataluo (lihat bagan silsilah), intensinya untuk menghormati dan mengenang leluhur. Sebagai orang Nias, saya percaya bahwa hubungan kedekatan batin dengan para leluhur akan tetap terjaga bilamana generasinya tetap menjaga dan melestarikan budaya leluhurnya seperti yang tersirat dalam peribahasa di bawah ini :
Nalö tegilo gafore Kalau tak diubah ukuran afore
Nalö maulö dumba akhe Kalau tak diubah ukuran tumba akhe
Gane ba mbanua ba Laraga Di
negeri Laraga
Gane ba mbanua ba Doene Di
negeri Doene
Ahuwa-huwa zimatua Usia
para lelaki sampai ubanan
Atua-tua zialawe Usia
para wanita sampai setua-tuanya.
(Fanadrö howu-howu ba ndraono khö zatua meföna) (Doa mohon berkat bagi orang tua zaman dulu)
“Sedawa Laowö” dan “Tolögu Lawazihönö” milik Penulis. |
Sekarang menjadi pertanyaan mengapa nama Tolögu lebih pepuler dibandingkan dengan Telögu. Satu alasan yang bisa menjelaskan hal ini adalah karena bahasa Nias sering mengalami perubahan karena pelafalan. Misalnya töla gaza menjadi töla zaga, mania mölö menjadi maenamölö, dll. Menurut Prof. Alo Liliweri “Bahasa mencerminkan budaya masyarakat, dan budaya mempengaruhi pemikiran dan keyakinan rakyat suatu bangsa. Kenyataannya adalah, bahasa mencerminkan fokus budaya”. Jadi dalam konteks perubahan nama dari Sedawa Mölö (Telögu) ke tolögu di atas telah mempengaruhi pemikiran dan keyakinan kita tentang satu entitas budaya.
Bagian-bagian Tolögu dan maknanya
Setelah kita memahami asal mula
nama tolögu maka akan semakin jelas
maknanya bila kita memperhatikan bagian-bagian tolögu di bawah ini.
Tolögu secara umum
dapat dibagi dalam dua bagian yaitu ösi dolögu
artinya
isi pedang dan sömbu
atau saembu yang berarti sarung. Dua
komponen ini yaitu ösi dolögu menyimbolkan maskulinitas
sedangkan sömbu atau saembu menyimbol femininitas. Secara rinci ösi dolögu
terdiri dari ösi mbalatu yaitu bilah
pedang yang terbuat dari besi, ndrana niobagi
lasara atau sobawa lawölö yang
terbuat dari kayu besi seperti manawadanö
dan berua; dan siano sejenis cincin yang terbuat dari
kuningan atau besi putih.
Sedangkan sömbu terdiri dari dua bilah
kayu berua dan pada salah satu ujung
bilahnya agak menonjol yang disebut hagu.
Kedua bilah kayu ini diikat dengan niasa
yang dianyam dari tumbuhan tanaya’ö
atau terbuat dari cincin kuningan dan besi putih. Pada hagu dipasang rago yaitu bulatan
yang dianyam dari rotan kadang ada yang dari tengkorak binatang seperti
tengkorak moyet atau macan tutul dan sekeliling rago diikat berbagai macam
taring seperti taring harimau, buaya, beruang, babi dan babi hutan atau kuku
macan dll.
Keunikan pedang ini dapat
dilihat pada bilah pedangnya yang terbuat dari besi dan gagangnya yang diukir
yang disebut dengan niobagi lasara atau niobawa lawölö dengan
seekor monyet di atasnya. Dalam
keyakinan orang Nias, lasara atau lawölö dan ba’e (monyet) merupakan makhluk
yang melindungi manusia dari bencana atau menghalau segala bentuk petaka. Keberadaan
lawölö dan ba’e bisa lihat di pintu gerbang utama di Bawömataluo yaitu bawagöli raya ada lawölö dan di bawagöli löu
ada ba’e.
Patung ba’e (monyet) pada pintu gerbang utama (bawagöli löu) di Bawömataluo. Sebelah kiri adalah seekor monyet betina dengan anaknya dan sebelah kanan seekor moyet jantan sambil makan jagung. Foto Oktavianus Fau, 22 Januari 2021.
Orang Nias menyakini ba’e
sebagai representasi bekhu zökha yang
bisa memakan lumölumö. Orang
yang sakit sering dihubungkan karena lumölumö-nya
telah dimakan atau diusik oleh roh halus. Jadi penempatan patung ba’e (moyet) di sebelah kiri dan kanan
pintu gerbang utama di Bawömataluo bertujuan untuk menjaga banua dari roh-roh
jahat dan dari orang-orang yang ingin berbuat jahat.
Patung ba’e dalam Omo Nifolasara di Bawömataluo |
Demikian halnya ukiran ba’e (moyet)
yang ada pada gagang tolögu di atas kepala niobagi
lasara tujuannya untuk melindungi si pemilik dari serangan roh jahat
atau dari orang-orang yang berniat jahat karena ba'e akan
memakan lumölumö. Seperti yang dikatakan oleh Modigliani (1890) yang dikutip oleh Viaro (2001) bahwa “monyet melambangkan bechu zöcha, roh yang memburu dan memakan bayang-bayang manusia,
seperti halnya manusia yang memakan babi”. Sehingga tidak
mengherankan kalau di rumah-rumah bangsawan kita melihat ada ukiran-ukiran
monyet yang diyakini akan menjaga penghuninya dari roh-roh jahat dan dari
orang-orang yang ingin berbuat jahat. Seperti yang bisa dilihat di Omo
Nifolasar di Bawömataluo.
Antara gagang dengan bilah pisau
ada satu bagian bulat, dinamakan siaono
yang terbuat dari kuningan atau besi putih berfungsi untuk menguatkan sambungan
tersebut. Agar bilah pedang dan gagang merekat digunakan furö’ö yang dibuat dari campuran gabah dengan yang disebut tai ndrumi yaitu cairan yang diyakini
sebagai hasil dari proses alam pada saat pelangi (ndrumi) terlihat. Biasanya menempel pada batang pohon kemudian diambil
dan dicampur dengan gabah dalam satu ruas bambu.
Di Bawõmataluo, untuk menguji
ketajaman pedang, bilahnya disepuh oleh pandai besi dengan corak pelangi yang
disebut ni’ondrumi. Akan tetapi bila
pedang ini tujuan digunakan untuk peperangan maka pedang ini lalaemi (diasah) di tempat khusus yaitu di
pasir sihombo ba Helebambõwõ dan
setelah itu la’oerei (dimantra) baru kemudian diuji ketajamannya pada batang akhe yang telah dibungkus dengan batang
pisang (informan Ama Luther Nehe, seorang ahli tolögu, Mei 2020). Keseluruhan
bagian pedang ini mulai dari gagang dan bilah pedangnya disebut ösi dolögu.
Penyepuhan tolögu dengan corak ni’ondrumi dan penggunaan unsur tai ndrumi pada furö’ö ini bukan tanpa alasan. Dalam keyakinan orang Nias, roh yang sangat
jahat adalah nadoya biasanya berkeliaran
pada saat hujan gerimis. Ketika pelangi (ndrumi)
mucul saat hujan gerimis, itu dianggap sebagai perangkap nadoya untuk menangkap manusia. Oleh karena itu baik anak kecil maupun
orang dewasa selalu diingatkan untuk menghindri aktivitas bermain atau pergi
berkebun karena bisa sakit (tesafo).
Untuk mengelabui nadoya pedang tolögu disepuh dengan corak pelangi (ni’ondrumi) dan menggunakan tai ndrumi sebagai campuran perekat gagang
dengan bilah pedang yang bertujuan untuk melindungi si pemilik pedang dari
perangkap nadoya.
Bila seseorang sakit (tesafo) karena
bermain di saat hujan gerimis sehingga demam ataupun melewati tempat yang dianggap memiliki penghuni, diobati dengan menggunakan air
dicampur dengan karatan pedang atau pisau serta potongan kaki atap serta arang
tempurung kelapa lalu airnya dioleskan pada seluruh badan yang sakit dan sambil diucapkan mantra sebagai berikut :
Afuru mbalatu mbekhu Tumpul pedang
hantu
Afuru mbalatu gafökha Tumpul pedang
setan
Afuru mbalatu nadoya Tumpul pedang
nadoyo
Mosöfu idanö gahe zagö Lebih tajam air kaki atap
Mosöfu
idanö defahö Lebih tajam air besi pedang
Pengalaman
masa kecilku lebih lima kali mengalami sakit tesafo membuktikan bahwa mantra ini mujarab untuk penyembuhan saat
nenek mengoleskan air itu sambil mengucapkan mantra-mantra itu. Hal ini menunjukkan
bahwa pedang atau pisau adalah antitesis bekhu,
afökha dan nadoya.
Dilihat dari bilah pedangnya kita bisa membedakan mana pedang yang biasa digunakan dalam peperangan dan mana pedang yang biasa digunakan untuk perayaan pesta atau berpergian. Pedang yang biasa digunakan dalam peperangan memiliki dua mata, satu yang panjang dan satu yang pendek. Sisi mata pedang yang pendek disebut ikhu sedangkan mata pedang yang panjang disebut bawa sehingga ada istilah mana mbawa mana nikhu artinya bawa menebas ikhu menikam. (informan Ama Haja ahli tolögu di Bawömataluo anak dari Samalo’o tefaö seorang pandai besi).
Perhatikan pedang yang dipegang prajurit Bawömataluo ini. Model pedang ini sekarang hampir tidak diproduksi lagi karena budaya peperangan sudah tidak ada lagi. Pedang yang sekarang ini biasa dipakai hanya untuk acara seremonila.
Sarung tolögu disebut sömbu atau saembu terbuat
dari dua bilah kayu yang diikat dengan niasa
(cincin anyaman) atau dari lempengan kuningan maupun besi putih. Pada salah
satu bilah sarungnya ada kayu yang menonjol senyawa dengan bilah sarung
tersebut yang disebut hagu. Pada
bagian sarung ini ada satu bulatan rotan yang disebut rago yang disekelilingnya diikat taring seperti taring harimau,
buaya, beruang, babi dan taring babi hutan dll.
Kadang dalam rago diikat
sebuah patung yang disebut patung nuwu.
Rago ini diyakini ada kekuatan magis yang mampu memberikan energi kepada
pemiliknya. Taring-taring ini diyakini berfungsi sebagai magnet kekuatan dimana
“roh-roh” yang ada menyatu dalam rago yang bulat. Lihat foto di bawah ini.
“Tolõgu Lawazihõnõ” dan bagian-bagiannya dengan ragonya yang unik terbuat dari tengkorak macan tutul. |
Prof. Viaro dalam aritikel Ceremonial Sabres of Nias Headhunters in Indonesia mengatakan bahwa sarung pedang milik para kepala suku dan bangsawan di Selatan Nias menopang bola rotan (rago iföboaya) yang di atasnya dipasang jimat-jimat yang berbeda jenis seperti gigi babi hutan atau babi, fosil gigi ikan, disebut gigi harimau, kain yang bergaris-garis (biasanya merah, warna bangsawan), patung kecil (adu nori), dan benda-benda simbolis lainnya yang dikaitkan dengan kekuatan niha (manusia). Mereka percaya bahwa jimat tersebut memberi kekuatan dan perlindungan terhadap musuh (Horner 1840: 346; von Rosenberg 1878; Raap 1903: 172; Holt 1939). Pisau panjang ini, yang menunjukkan pangkat pemiliknya, biasanya disimpan di peti yang disembunyikan di dalam rumah dan hanya ditampilkan pada pesta (Schröder 1917: 240).
Selain itu menurutnya ketika Kleiweg de Zwaan
(1930), mengunjungi pulau Nias pada awal abad
ke-20, mengatakan bahwa "dalam pesta dan perang, kaum pria memakai pedang pendek yang sarungnya sering kita temukan terpasang sebuah keranjang kecil, serta
di atasnya diikat rangkaian benda-benda kecil
seperti batu-batuan yang
berbeda bentuk, cangkang, gigi babi, cakar harimau yang diimpor dari Sumatera, dan yang sering sekali, patung kayu
kecil. Ini semua
merupakan jimat yang membuat prajurit percaya dirinya tak terkalahkan”.
Di
Bawömataluo ada sepenggal syair hoho
fadölihia (folklor) yang berbunyi sebagai berikut :
Ono matu fotuwusö ae hija ho he…. Pemuda yang gagah berani ae
hija ho he….
Famolagene yaugö ae hija ho he…. Disematkan lagene kepadamu ae hija ho he….
Lagene ini biasanya disematkan pada topi dan rago tolögu prajurit yang berperang. Lagene adalah tumbuhan yang dianggap sebagai hiasan kepala nadoya. Jadi penggunaan lagene menurut Schröder sebagai kamuflase untuk mengoceh nadayo seolah-olah orang yang mengenakan lagene adalah sekaum dengannya.
Seorang Siulu Muda bertemu dengan misionaris Thomas dan Lagemann dengan latar kapal Denninger (Bieger, 1918) |
Taring pada rago adalah satu hal yang sangat penting. Begitu pentingnya taring ini ada satu peristiwa yang terjadi pada tahun 1883 yang dialami Thomas dan Lagemann, misionaris yang berkarya di Nias Selatan mengisahkan hal tersebut. Dua orang putra Si’ulu Helabadanö, berusia sekitar 25 dan 18 tahun, mendatangi Thomas. Mereka ingin bermalam di kapal "Denninger", mereka berkata, “Kami ingin berbicara dengan awak kapal tentang pembelian 2.000 kelapa”. Thomas setuju, dan setelah kedua pemuda itu makan malam di rumah misi, mereka pergi pukul 8 dalam kegelapan menuju pantai.
Helabadanö menancapkan tombaknya ke pasir dengan tangan mencengkram ujung atas, dan menatap lama anaknya yang meninggal (Bieger 1918) |
Lasara, Lawölö, Harimao dan Saembu
Di Bawömataluo ada tiga wujud binatang mitologi yaitu lasara, lawölö dan harimao.Salah satu lasara di rumah Laowö di Bawömataluo |
Lasara pada peti mati Saönigeho di Bawömataluo |
Selain itu juga dipasang pada peti mati si’ulu sima’awali (bangsawan paripurna) seperti yang bisa kita lihat pada makam Saönigeho putra Laowö, dan pada peti mati balö niha (pemimpin utama masyarakat biasa), dan balö niha yang terakhir menggunakan ini di Bawömataluo adalah Amada Harimao.
Patung lawölö di pintu gerbang selatan (bawagöli raya) di Bawömataluo |
Harimao adalah patung harimau yang terbuat dari kayu (tidak seperti lazimnya seekor harimau) dan kadang disebut juga adu lawölö yang digunakan pada pesta 7 tahunan, setelah upacara pengarakkan patung harimao (famadaya harimao) selama lima hari dan puncak perayaannya dinamakan mamatö harimao yaitu mematahkan atau membuang patung harimao ke sungai Zumali di banua Onohondrö, tujuannya sebagai hõli-hõli Niha (tebusan manusia) agar tidak sakit atau terhindar dari malapetaka dan hõli-hõli banua agar negeri menjadi makmur (ternaknya berkembang biak dan tanamannya menghasilkan buah yang banyak) serta terhindar dari kebakaran.
Patung harimau ini dibuat pada tahun 1980 untuk menyambut Wakil President RI Adam Malik saat berkunjung ke Bawömataluo, (Museum Pusaka Nias) |
Menurut perkiraan Schröder bahwa hewan itu (harimao) belum lama ada di pulau itu, tapi kemudian orang menganggap beruang (beruwa) adalah sama, yang tidak ada jejaknya juga. Lebih lanjut Schröder mengatakan asal usul beruang (beruwa) itu bisa dirujuk, di mana kita melihat manawa danö dan beruwa tumbuh dari jantung harimau. Manawa danö dan beruwa adalah nama jenis kayu.
Melihat bentuk lasara, lawolo dan harimao menjadi komponen tolögu,
itu menandakan simbol maskulin dan sömbu
atau saembu (sarung) dan rago menyimbolkan femininitas yang keduanya
saling melengkapi.
Perpaduan
bentuk gagang yang terbuat dari kepala lasara
dengan sarung dan rogo, merepresentasikan
famadaya harimao dan famadaya saembu. Jika tolõgu difahami dalam famatõ harimao dan famadaya saembu, maka benda ini bukanlah sekedar senjata biasa
namun menjadi benda yang memiliki “jiwa” yang hidup dalam materi. Meminjam
istilah Aristoteles adanya form (isi
jiwanya) dalam matter (wujud
lahiriah). Oleh
karena itu memahami
tolögu artinya memahami konsep jiwa orang
Nias, khususnya Nias Selatan. Karena tolögu
adalah jiwa atau roh yang hidup, identitas diri orang Nias dari Selatan.
Selanjutnya dari makna katanya, tolögu dapat diartikan telungkup
(berbaring dengan dada menghadap ke bawah). Coba perhatikan bentuk pedang ini.
“Sedawa Laowõ” dengan bagian-bagiannya dalam posisi tolögu (telungkup) |
Selain itu, makna kata tolögu juga dapat diartikan siap mati (matolögu khönia danö). Makna ini akan sangat terlihat jelas dalam kasus apabila ada orang yang marah dan membawa pedang tolögu, maka orang-orang bijak akan
menasehatinya “heugö ndrana” artinya
gagangnya saja yang diguncangkan, jangan sampai dicabut dari sarungnya. Apabila
tolögu sudah dicabut maka ada
konsekuensi yang harus ditanggung, pedang itu harus makan korbannya, karena
kalau tidak, akan menimbulkan aib bagi si pemiliknya, menjadi bahan
pergunjingan dan tertawaan.
Pedang yang sudah dicabut pantang
dimasukan dalam sarung kalau tidak memakan korban karena tindakan mencabut
pedang saat marah berarti “memproklamirkan” dirinya sebagai laki-laki yang siap mati sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa “osi dolögu” sebagai representasi
maskulinitas. Dengan mencabut pedang dalam situasi marah berarti ia telah
menyampaikan pesan kepada orang yang melihatnya, saya akan membunuh musuhku.
Tidak ada laki-laki Nias yang pergi mengayau dan berperang tanpa membawa kepala
musuhnya karena itu adalah aib seumur hidup.
Di Bawömataluo ada satu megalit yang menunjukkan bahwa tolögu sangat berarti untuk mengatur perilaku masyarakatnya. Baik Laowö maupun putranya Saönigeho selalu menggantungkan pedang (saita tolögu) di batu ini (lihat foto di bawah) sebagai peringatan bila ada ono mbanua nia (rakyatnya) yang bertengkar. Sedemikian pentingnya harmoni dan mawas diri dalam hidup bermasyarakat sehingga pedang tolögu digunakan untuk menenangkan yang berselisih. Tolögu adalah material yang memiliki “jiwa” yang mampu mentransfer energi ketenangan bagi jiwa yang sedang bergejolak.
Foto gantungan tolögu (saita tolögu) sebelum patah |
Foto gantungan tolögu (saita tolögu) yang sudah patah |
Harapan dan Penutup
Melalui penjabaran ini semoga
dapat membuka cakrawala tentang satu benda pusaka sebagai kekayaan budaya kita
dan semakin mengerti apa makna dibalik pedang ini bagi orang Nias. Baik Sedawa Mölö, Telögu maupun Tolögu merupakan representasi leluhur
orang Nias yang harus dihormati (la’amoni’ö)
yang di dalamnya terkandung pesan untuk lebih mawas diri, tidak lagi dalam
konsep menyakini kekuatan magis seperti sedia kala.
Tolögu adalah “Jiwa yang harus
dijaga dan dihormati serta tetap mawas diri”. Tolögu ibarat belahan jiwa si pemilikinya tutur
Ama Tia, cucu Saönigeho.
Ekspresi penulis tentang tolögu dalam bentuk syair, 8 Juni 2017 |
Daftar Pustaka :
- Biege, J. N, 1918 De Zendingsklok een verhaal uit den zendingsarbeid op Nias, Zendingsbureau
- Feldman, Jerome Allen, 1977, The Architecture of Nias, Indonesia With Special Reference To Bawömataluo Village, Submitted in partial fulfilment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy in the Faculty of Philosophy Columbia University.
- Hämmerle, Johannes M, 1990, Omo Sebua, Yayasan Pusaka Nias.
- Hämmerle, Johannes M, 1986, Famatö Harimao, Abidin Medan.
- Liliwei, Alo, 2014, Pengatar Studi Kebudayaan, Bandung -Nusa Media
- Sarwono, S. W, 1999, Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial, Balai Pustaka
- Schröder, E.E.W, 1917, Nias, Ethnographische, Geographische en Historische Aanteekeningen en Studien, E. J. Brill, Leiden.
- Viaro, Mario Alain. Ceremonial Sabres of Nias Headhunters in Indonesia. Arts et cultures, 2001, vol 3, p. 150-171
Mantabs bozzzz saya baru mengerti tentang tologu saya kira itu hanya pedang saja terimaksih pak marsel atas artikel ini
BalasHapusDitunggu artikel berikut nya
Terima kasih bozzz sdh membacanya.
HapusMantul pak 👍 saya lebih tau lagi tentang Tolqgu😁
BalasHapusSemoga bermanfaat.
HapusMantap sekali informasi yang aktual
BalasHapusTulisan yang sangat menarik
BalasHapus