Mengenang Raja Bermata Satu Si “De Verdrijver der Hollanders” dan Meriam Perjuangan Orahili
Mengenang Raja Bermata Satu Si “De Verdrijver der Hollanders”
dan
Meriam Perjuangan Orahili
Oleh : Marselino Fau
Pengantar
Lukisan Laowõ, 2020 |
Berawal dari sana,
penulis mulai mencari tahu siapa raja yang dimaksud. Banyak klaim yang penulis
dengar tetapi secara fakta historis tidak mendukung. Kendala utama ketika
menulis artikel ini narasumber yang
terbatas karena peristiwanya terjadi 165 tahun
yang lalu, dimana tokoh dan saksi-saksinya serta penutur yang kompeten sudah
tidak ada lagi sekarang. Kendala ini tidak mengurungkan niat penulis untuk
berselancar mencari siapa sesungguhnya raja yang dimaksud. Berkat beberapa
tulisan yang dipublikasikan pada kurun waktu tahun 1866 sampai 1967 akhirnya
rasa penasarn penulis terjawab sudah dengan fakta-fakta historisnya.
Terima
kasihku kepada paman Aturan Wau dengan gelar adat Tuha Siholaluo yang ada di
Belgia yang banyak membantu penulis untuk menerjemahkan teks-teks berbahasa
Belanda dan kepada ibu Helena atas terjemahan bahasa Jermannya serta kepada
Prof. Jerome A. Feldman atas kiriman foto-foto aktual yang diberikan sehingga menghindari
penulis dari interpretasi subjektifitas.
Sekilas Tentang Orahili dan Perjumpaan
dengan Kompeni
Orahili
adalah nama sebuah banua (negeri). Tahun berdirinya Orahili tak dapat
dipastikan dengan pasti, tetapi berdasarkan perhitungan generasi maka kita akan
sampai pada tahun perkiraan sekitar tahun 1700an. Perpindahan dari Lahusa ke
Orahili mulai dari Laowõfa'oyana sampai tahun 1863 generasi
Laowõsindruhu ada 8 generasi (versi silsilah di Bawõmataluo). Bila menggunakan
perbandingan selisih generasi penulis dengan tahun berdirinya Bawõmataluo tahun
1868 (ada 6 generasi), maka rata-rata selisih antar generasi 17 tahun. Maka
tahun pendirian Orahili dengan 8 generasi adalah sekitar
tahun 1727.
Berikut ini, kurun waktu mulai dari Orahili,
Bawõmataluo (Orahili Lama) dan Orahili Baru.
1. K. l. 1700 - Juni 1863 adalah kurun waktu dengan nama Orahili.
2. Juli 1863 - 1868 masa pengembaraan, warga Orahili mengembara selama 5 tahun mencari pemukiman baru sampai ke Barujõsifaedo dan menetap di Bawõmataluo.
3. 1868 warga Orahili menetap dengan nama Hili Fanayama, Bawõmataluo (Orahili Lama).
4. 1907 Bawõmataluo pecah sebagian warganya mendirikan pemukiman baru di lokasi Orahili Lama dan sampai sekarang disebut Orahili (Orahili Baru).
Maka
dari rentang waktu tersebut di atas akan memudahkan kita merekonstruksi sejarah
yang terjadi pada masa itu.
Pada tanggal 15 April 1693 Kompeni membuka pos di Bawõhulando (antara Orahili dan Lagundri) dua tahun kemudian ditutup karena tidak cukup biaya untuk membiayainya. (Schröder, 1917 hal. 706). Tahun 1815 sampai 1825 Inggris berkuasa di Hindia Belanda termasuk Nias. Penandatanganan Traktat London antara Inggris dan Belanda pada 17 Maret 1824, dampaknya sampai ke Pulau Nias. Wilayah Sumatera diambil alih oleh Belanda. Inggris menyerahkan Nias kepada Belanda tahun 1825. Pada tahun 1846 Letnan Donleben melakukan topografi Nias Selatan di Lagundri. Artinya orang-orang Nias di bagian Selatan mulai kontak kembali dengan Belanda sekitar tahun 1840an, termasuk Orahili.
Mengenal Siapa Raja Bermata Satu
Untuk menyingkap identitas siapa “De
Verdrijver der Hollanders” penulis
membawa pembaca untuk mengenal raja bermata satu dengan memperhatikan
kesaksian-kesaksian orang yang pernah bertemu dengannya.
Bagi para peneliti dan penyuka sejarah Bawõmataluo bila melakukan penelitian dan berbicara tentang Bawõmataluo maka mereka akan dibawa pada sosok yang bernama Laowõ. Seperti yang dikatakan oleh Schröder bahwa nama Laowõ menjadi topik menarik dalam diskusi etnografi. Wataknya dinilai sebagai orang yang baik dari Orahili dan disisi lain penolakannya terhadap sidang-sidang Belanda di Teluk Dalam sangat kontradiktif (Schröder, 1917 hal. 731). Tentu menjadi pertanyaan siapa Laowõ ini?
Laowõ memiliki nama lengkap Laowõsindruhu atau juga sering disebut Laowõsiduhu. Ia dipanggil dengan nama Laowõ. Mengenal lebih jauh siapa Laowõ, penulis mengajak pembaca melihatnya dalam kurun waktu 1840an hingga 1890an. Menulis tentang Laowo tentu saja bukan pekerjaan yang mudah karena ia hidup 1,5 abad yang lalu dimana orang Nias belum terbiasa dengan budaya tulis menulis. Seperti kita ketahui leluhur orang Nias memiliki kebiasaan untuk menceritakan sesuatu lewat lisan secara turun temurun yang disebut dengan hoho. Kebiasaan penuturan lewat lisan ini memiliki kelemahan karena lebih mengandalkan kemampuan ingatan. Lain halnya bila ditulis tentu saja memiliki keakuratan yang tinggi. Karena itu untuk mengurangi bias pada artikel ini, penulis menggunakan beberapa data yang ditulis berdekatan dengan kurun waktu tersebut dan dielaborasi dengan kisah-kisah yang pernah dituturkan.
Pada kurun waktu tersebut di atas ada sebuah kisah yang sering dituturkan baik di Bawõmataluo maupun di Orahili sebagai berikut “Manu namada Laowõ, manu mboto arawi bawa” artinya ayam Laowõ, badannya seperti ayam, berkepala musang. Dari ungkapan ini nama Laowõ jelas disebutkan disini. Kisah ini konon merupakan kisah konfrontasi pertama antara Orahili dengan pedagang Kompeni saat itu. Ceritanya ketika pedagang Kompeni masuk ke Lagundri, Laowõ membuat kesepakatan dengan mereka. Pada perjanjian itu disepakati bahwa Belanda dan Orahili akan mengadakan pertandingan sabung ayam. Jika ayam Belanda yang menang maka Belanda boleh tetap berdagang di Lagundri tetapi jika ayam Laowõ yang menang maka Belanda harus tunduk pada aturan Orahili.
Lalu untuk memenangkan pertandingan ini Laowõ menyiapkan ayam aduannya melawan pedagang Kompeni. Laowõ mengambil seekor musang, kemudian badan musang ini dianyam dengan bulu-bulu ayam sehingga musang ini sungguh-sungguh menyerupai ayam. Badan dan kepalanya seperti ayam jantan, yang sesungguhnya adalah musang. Singkat cerita ketika pertandingan dimulai ayam Belanda dimasukan dalam arena demikian juga ayam milik Laowõ. Ketika ayam Laowõ di turunkan langsung menyerang dan memangsa ayam Belanda. Oleh karena itu seperti yang disepakati, pedagang Belanda dinyatakan kalah dan harus tunduk kepada Orahili. Dari situ mulai timbul kebencian Belanda kepada Orahili. Lalu apakah dengan kisah itu cukup menjelaskan siapa si “De Verdrijver der Hollanders”? Mari kita lihat penuturan berikut ini.
Kisah kehebatan ayam ini dituturkan dan dilantunkan dalam satu syair hoho (folklor) di Bawõmataluo yang mengisahkan ayam milik Tuha Famaedodanõ dan Tuha Famaedoluo, bunyinya sebagai berikut :
Khõ Namada Tuha Famaedodanõ, Teruntuk Tuanku Tuha Famaedodanõ
Khõ Namada Tuha Famaedoluo, Teruntuk Tuanku Tuha Famaedoluo
So khõnia manu silairi lawa lani, Tuanku mememiliki ayam yang terbang di atas langit
So khõnia manu silairi lawa luo, Tuanku mememiliki ayam yang terbang di atas mentari
Felezara na manuge, Sebelas kalau hinggap
Otu arua na humombo, Seratus dua kalau terbang
Folklor ini mengisahkan bahwa si empunya gelar Tuha Famaedodanõ dan Tuha Famaedoluo memiliki seekor “ayam” yang tiada duanya. Sebelas kalau hinggap dan seratus dua kalau terbang dan terbangnya di atas langit dan di atas matahari. Lalu apa makna hoho tersebut ? Hoho ini memberi dua pesan yang hendak disampaikan, pertama adalah Tuha Famaedodanõ dan Tuha Famaedoluo memiliki ayam yang sangat hebat. Pesan yang kedua, ayam yang dijadikan objek dalam wujud seekor musang bisa terbang di langit dan di atas matahari serta bisa membagi diri karena saktinya. Tentu hoho ini bukan sekedar isapan jempol semata, dulu di tengah pekarangan Bawõmataluo ada tiang yang tingginya sekitar 20 m. Di ujung tiang itu diletakkan patung seekor ayam yang sedang terbang sebagai objektifikasi hoho tersebut. Gelar Tuha Famaedodanõ dan Tuha Famaedoluo adalah gelar Laowõ sendiri. Jadi sosok yang dimaksud dalam ungkapan “Manu namada Laowõ, manu mboto arawi bawa” adalah Laowõsindruhu.
Beberapa rentetan peristiwa yang membuat Belanda makin tidak senang dengan Orahili yakni, Januari 1855 satu komisi dikirim oleh Pemerintah Belanda ke Orahili, tetapi mereka disambut dengan tidak menyenangkan. Lalu pada bulan Desember 1855, Belanda mengadakan pertemuan dengan para pemimpin di Lagundri, Orahili diundang tetapi dari Orahili tidak ada yang datang. (Wall, 1883, hal. 202). Karena bagi raja Orahili, Belandalah yang harus tunduk dan mengakui otoritasnya. Lagi-lagi pada pada tahun 1857 pejabat Gubernur Sipil, Heijlegers melakukan kunjungan di beberapa banua di Selatan Nias, dimana-mana dia disambut dengan sambutan yang baik dan ramah, kecuali di Orahili, dimana mereka memandang rendah kepadanya (Van Hoovell, 1860, Hal. 340).
Untuk
menjawab pertanyaan siapa Laowõ, penulis mengutip satu tulisan Dr. J. H. Gunning dalam satu Majalah mingguan yang diterbitkan pada Sabtu, 27 Juni 1926, hal. 194
sebagai berikut : “Pada tahun 1863 sebuah kampung berbenteng, yang disebut Orahili berhasil mengalahkan ekspedisi Belanda
tiga kali, baru pada ekspedisi keempat Orahili dapat dikuasai oleh Belanda”.
Lalu apa
hubungannya dengan Laowõ? Hubungannya
mari kita lihat dari hasil rapat pada 2 Januari 1856 seperti yang
ditulis oleh Wolfgang R. Schimidt, 1967 ketika ekspedisi Belanda di bawah Kapten
de Vos tiba di Lagundri menjadi topik pembicaraan di Orahili. Pada hari itu
juga warga Orahili mengadakan rapat dengan keputusan: “Warga Orahili akan
melawan Belanda”. Pada rapat itu warga Orahili menyerukan “He Laowõ, pimpinlah
kami, Engkaulah pembunuh Belanda. Panggillah 14 banua lain sekutu kita yang
sehati sejiwa (kebulatan hati seperti hunõ
baruzõ). Ayo kita berperang”. Lalu Laowõ melemparkan tombaknya
di tengah pekarangan sebagai tanda perang. Kemudian para prajurit mengiris
lengannya diujung tombak itu hingga berdarah. (Wolfgang R. Schmidt, dalam buku
Maniamõlõ, 2019, hal. 104). Mengutip
Johannes M.
Hammerle dalam bukunya Omo Sebua, 1990 hal. 145; mengatakan bahwa Laowõ adalah penguasa desa yang sangat kuat di Orahili pada masa itu ketika
serbuan Belanda di Teluk Lagundri 1856.
Dari
informasi di atas kita mengetahui bahwa Laowõ adalah pemimpin Orahili saat
menghadapi ekspedisi Belanda dikurun waktu 1840an sampai tahun 1863. Salah satu
ciri pemimpin utama saat itu dapat dilihat dari
wewenangnya, karena hanya pemimpin utama yang boleh menyatakan perang. Dalam
konteks budaya lokal jabatan pemimpin utama itu disebut “Balõ Zi’ulu”. Dalam
buku De Pionniers Der Beschaving in
Neerlands Indie, van Rees mengatakan bahwa di Nias, pemimpin utamalah yang menyatakan perang dan perdamaian. (Van Rees 1866, hal. 42).
Seruan
warga Orahili “He Laowõ, pimpinlah kami, Engkaulah pembunuh Belanda”
menunjukkan bahwa Laowõ adalah pemimpin mereka dan anak kalimat engkau adalah
pembunuh Belanda mau menyatakan bahwa pengalaman mereka berperang di bawah
pimpinan Laowõ memerangi Belanda telah berulang kali sebagaimana yang ditulis
oleh Dr. J. H. Gunning di atas.
R. Schmidt mencatat satu
pembicaraan pada satu orahua mbanua (persidangan) di Hilisimaetanõ saat Si’ila
yang membuka persidangan mengatakan sebagai berikut :
“…..Vor zwanzig Jahren hat Bawömataluo die
Weißen vertrieben!
Die Krieger waren stark unter Lauwus Führung!....”
(R. Schmidt 1967, hal. 11)
Dua puluh tahun yang lalu Bawõmataluo telah
mengusir
orang kulit putih!
Para prajurit itu kuat di bawah
kepemimpinan Laowõ!
Ketika Joachim Freiherr von Brenner berkunjung di Bawõmataluo pada tanggal 5 Juni 1887 mengatakan bahwa dia disambut oleh Laowõ tua, bermata satu, sosok yang hangat. Hier erwatete uns der greise einäugige Laubo,…. (Brenner Felsach, 1890 hal. 28). Dia adalah seorang kepala suku yang kaya, tidak hanya rumahnya yang megah, tetapi juga mempunyai gudang senjata yang mengagumkan. Dari penuturuan Famohouni (cucu Sihola saudara Laowõ) kepada penulis (1992), mengatakan bahwa kakeknya Laowõ “lõna sulu sambua” artinya matanya hanya satu disebabkan karena terkena serpihan bom saat perang melawan Belanda. Tentang raja Orahili yang terluka ini dilaporkan oleh Departemen Perang dalam satu artikel “Laporan dari Nias” tertanggal 27 Juni 1863 pada pertempuran tahun 1863.
Lebih lanjut lagi Joachim mengatakan bahwa saat Laowõ mengumpulkan rakyatnya selama dua hari dan pada satu sesi dimana dia berpidato yang sebagian besar isi pidatonya bersifat politis dan pidatonya sangat memusuhi Belanda (Brenner Felsach, 1890 hal. 29). Disini kita bisa melihat bahwa apa yang dikatakan oleh Joachim ini linier dengan apa yang disampaikan oleh Schröder di atas.
Pembumihangusan Orahili pada tahun 1863 menyebabkan mereka telah membangun kampungnya, juga bentengnya di atas bukit yang tinggi, berada di ketinggian 400 meter. Rajanya sangat kuat sehingga menurutnya Kompeni tidak akan pernah bisa masuk, dia menentang Belanda disana dan menyebut dirinya pembasmi Belanda. Testimoni ini ditulis oleh Wetselaar seorang tentara Belanda yang ikut berperang pada tahun 1863 di Orahili yang dipublikasikan pada tanggal 10 Juli 1908.
Hal yang sama tentang julukan Laowõ ini ditulis oleh Bieger, seorang misionaris yang memberikan konfirmasi dalam laporan perjalanannya pada satu majalah Zending yang dipublikasikan tahun 1918 dan dicetak ulang tahun 1921 mengatakan bahwa raja bermata satu dari Bawõmataluo yang terbesar dan paling kuat, memiliki nama besar: "Sanabo Hoelandro" artinya Pengusir Belanda (Bieger 1918, hal. 29). Atas informasi ini akhirnya kita mengetahui bahwa yang dimaksud W. A van Rees untuk julukan raja Orahili dengan sebutan “De Verdijver der Hollanders” (van Rees, 1866 hal. 47) artinya Pengusir orang-orang Belanda yang dalam bahasa Nias disebut "Sanabo Hoelandro" adalah Raja bermata satu dari Bawõmataluo alias Orahili Lama.
Dalam dokumen-dokumen berbahasa Belanda nama Bawõmataluo sering ditulis dengan sebutan Orahili Lama sehingga bila kita membaca keterangan foto yang ditulis oleh Joachim tentang sosok yang ada dalam satu foto dengan keterangan König von Orahili (Raja Orahili) bukanlah kesalahan sekalipun saat itu Joachim bertemu dengan Laowõ di Hili Fanayama sebelum ganti nama menjadi Bawõmataluo, karena nama Orahili masih melekat dengan mereka. Foto Laowõ 1887.
Informasi tentang siapa Laowõ, juga
dapat kita temukan dari catatan perjalanan misionaris Thomas dan Fehr pada Agustus
1881 yang dipublikasikan pada tahun 1882 sebagai berikut : “Am
Montag Morgen branchen Thomas und Fehr in Begleitung zweier Leute von Hili
Sondregeasi auf nach Orahili oder, wei es jetzt heifst, Hili Mataluo. Der mit
uns nach Lagundri gekommene Unterhäuptling wartete auf die Missinare an der
Badestelle des alten Orahili. Der einäugige Oberhäuptling dagegen, der sich
einst "Vertreiber der Holländer" gennant hatte, liesfs langere Zeit
auf sich warten”. (Kurze 1882, hal. 91).
Senin pagi, Thomas dan Fehr ditemani dua orang
berangkat dari Hili Sondregeasi ke Orahili atau sekarang disebut Hili Mataluo.
Wakil kepala suku yang ikut bersama kami datang ke Lagundri menunggu para
misionaris di tempat permandian di Orahili Lama. Sebaliknya kepala suku bermata
satu yang menamakan dirinya “Pengusir Belanda” sudah lama menunggu.
Jadi dari
kutipan-kutipan di atas jelaslah bahwa Julukan “De Verdijver der Hollanders” atau "Sanabo Hoelandro" tidak lain tidak bukan disematkan
kepada Laowõ yang
bernama lengkap Laowõsindruhu dengan gelar Tuha Famaedodanõ dan Tuha
Famaedoluo.
Pertempuran Fabaliwa Yang Menakutkan
Tentara Belanda
Perlawanan
para pejuang Orahili merupakan momok bagi Belanda terutama pada tahun 1856 dan memuncak
pada tahun 1861. Satu ekspedisi Belanda diberangkatkan dari Sibolga
tanggal 30 Desember 1855 sekitar jam 3 menuju Lagundri. Belanda mengirim armada perangnya dengan 2
kapal perang, 3 kapal penjelajah, 120 prajurit infanteri dan mortir untuk menghukum Orahili (Schröder, 1917). Sebagaimana
diketahui pasukan ekspedisi bagi Belanda adalah pasukan elit yang khusus
dibentuk untuk satu operasi. Armada
perang ini tiba di Lagundri pada tanggal 2 Januari 1856.
Foto Para pejuang dari Orahili dan Botohosi 1875 |
Sebelum pertempuran pecah pada 6 Januari 1856, dari informasi yang didapat oleh komandan pasukan Belanda bahwa semua pintu masuk ke Orahili ditutup sehingga tidak dapat dilewati. Hanya satu jalan yang mengarah dari Fadoro ke Lagundri yang masih terbuka; tapi juga tidak bisa digunakan malam itu. Karena tidak ada jalan lain, maka pasukan Belanda terpaksa menerobos semak-semak. Setelah berjalan selama satu jam, mereka mulai mendekati Orahili. Pada saat yang sama sekitar lima puluh pasukan Orahili yang bersenjatakan senapan, menghadang mereka. Lokasi pertempuran ini disebut Fabaliwa. Para pejuang Orahili telah menyiapkan perangkap di kanan kiri jalan. Mereka membuat jebakan dengan menggali lubang-lubang dan ditutup daun-daun, di dalamnya telah ditanam “sulege” (kayu dan bambu runcing). Di atas pohon telah digantung bowoa lamaeha (periuk tanah liat) yang berisi abu sebagai pengganti bom asap, senjata boji ohi yaitu senjata yang dapat memukul musuh karena menginjak jebakan, (Tafali dalam Laporan Penelitian Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias, 1988 hal. 40) dan gelondongan kayu yang digantung di atas pohon.
Ketika pasukan Belanda melewati
Fabaliwa mereka dihadang pasukan Orahili. Setelah beberapa tembakan yang
dilontarkan oleh para pejuang Orahili dan mengenai sasaran yang
menimbulkan kepanikan bagi musuh, lalu tali-tali pengikat bowoa lemaeha dan
gelondongan kayu diputus kemudian abu-abu itu berserakan membuat pasukan
Belanda kocar-kacir, ada yang jatuh ke dalam lobang-lobang perangkap. Ketangguhan
para pejuang Orahili dilukiskan oleh Hooyer, 1896 dalam Sejarah Perang Belanda berikut ini : “Musuh segera melepaskan
tembakan dan melemparkan batu dari belakang tembok pembatas, sehingga pasukan
mulai ada
yang
terluka, sementara tembakan artileri dan infanteri kami tampaknya tidak banyak
mempengaruhi para pejuang”.
Setelah banyak yang terluka para prajurit mulai
panik dan ketakutan, sampai-sampai para prajurit menolak untuk mengganti teman mereka yang jatuh. Komandan
bertanya pada sukarelawan; dia mengulangi permintaannya empat kali; hanya
Sersan Dungeman dan Strey yang secara sukarela menemani kapten mereka. Maju
bersama dua pria sama cerobohnya dengan sia-sia; tetap terkena peluru musuh
juga. Sudah dilaporkan dua kali bahwa pasukan Orahili mencoba memotong bagian belakang;
mereka hampir tiga jam dari pantai, hampir seluruh penjaga telah mundur, dan
para kuli angkut telah memilih jalan kecil untuk kabur. Jadi tidak ada yang bisa
dilakukan selain mundur. Kapten de Vos memerintahkan agar yang terluka
dibawa kembali oleh tentara; demikian juga halnya dengan amunisi dan barang berharga lainnya. Dua
orang mati harus ditinggal di tangan musuh. Ada delapan
belas yang terluka, enam di antaranya berat. Terlebih lagi
Hamers, Eavallet dan Schuurman terbaring terluka, beberapa hari kemudian Mayor
Schwenk meninggal, (Van Rees, 1866, hal. 12).
Menyadari
pasukannya tidak menemukan cara untuk menaklukan musuh, Kapten De Vos
memerintahkan pasukannya mundur. Ekspedisi
ini merupakan ekspedisi gagal yang sangat mempermalukan Belanda. Tentara
Belanda melarikan diri dan meninggalkan begitu saja tentara mereka yang sudah
tewas. Inilah pertempuran yang sangat menakutkan bagi Belanda melawan para
pejuang Orahili. Peperangan di Fabaliwa ini sangat melegenda di
Bawõmataluo dan Orahili.
Kemudian setelah
kekalahan itu, Mayor Jenderal de Brauw, menyarankan agar pemerintah mengirim ekspedisi
militer ke Nias untuk menghukum Orahili. Kekalahan ini membuat gubernur dan panglima militer pantai Barat Sumatera, Van Swieten ingin
sekali bercokol
di Nias
Selatan. Pada tanggal 30 Januari 1856, Jenderal Van Swieten menyampaikan niatnya
kepada komandan militer negara-negara bagian bawah Padang agar di bagian Selatan
Pulau Nias, di teluk Lagundi, atau Luaha Gunde, untuk mendirikan sebuah benteng
yang akan ditempati oleh dua perwira dan 75 orang tentara.
Kemudian pada
tanggal 10 Maret 1856 kembali dikirim 2 brigs sekunar perang, 1 sekunar, 3 kruisprauwen dan 3 kapal lainnya,
dengan kekuatan 200 orang di dalamnya. Mereka membangun benteng di Lagundri
secara perlahan dengan tujuannya ingin menegakkan penghormatan terhadap otoritas Belanda. Selama disana mereka
tidak melakukan infiltrasi secara agresif tetapi mereka memperkuat hubungan dengan banua yang bermusuhan dengan Orahili. Dikutip dari Laporan
Pendirian Belanda di Lagundri, 1859
hal. 332.
Orahili Melucuti Belanda
Setelah
Belanda kembali mendirikan benteng di Lagundri dan sebelum Belanda menyerang
Orahili, pada tanggal 16 Februari 1861 terjadi gempa bumi yang
dahsyat selama 15 menit disusul dengan gempa susulan. Gempa ini menghancurkan
benteng Belanda di Lagundri. Keesokan harinya para pejuang Orahili mendatangi
benteng Belanda di Lagundri dan melucuti tentara Belanda dan mereka menguasai sebuah kapal (Schröder, 1917
hal. 724) dan puluhan pucuk senjata serta dua buah meriam dan sebuah
meriam artileri (Van Rees, 1866 hal. 46). Jika
para perjuang Orahili menghendaki menghabisi semua tentara Belanda yang sudah
tak berdaya saat itu, sebenarnya bisa saja tetapi mereka tidak melakukannya
karena dalam budaya orang Nias hidup dengan rasa malu (menyangkut kehormatan) jauh lebih menyiksa
dari pada mati. Peribahasa Nias mengatakan “tola
mate moroi aila” lebih baik mati dari pada malu. Karena
itu tentara Belanda dibiarkan pergi oleh para pejuang Orahili tetapi tanpa
senjata sebagai bentuk penghinaan. (Catatan:
dari versi para pejuang peristiwa itu disebut melucuti sedangkan dari versi
penjajah disebut merampok/ merampas, tinggal pembaca berpihak kepada siapa).
Situasi
ini memaksa pasukan Belanda berusaha mencari tempat berlindung di Hilibõwõ. Dikelilingi
oleh musuh, sebagian besar Orahili, Hilibõwõ dan Botohõsi; praktis
tanpa makanan, seluruh garnisun kelelahan dan sakit, sementara gempa bumi terus
berulang dan air laut naik lagi, tidak ada pertahanan. Karena itu diputuskan
untuk memanggil bantuan Raja Hilibõwõ.
Berita bahwa Belanda berlindung di Hilibõwõ, sampai kepada raja Orahili dan ia memberikan ultimatum kepada Hilibõwõ : “Bila kalian memberikan perlindungan kepada Belanda kalian adalah musuh kami”. Mendengar ultimatum dari raja Orahili, raja Hilibõwõ kemudian mengusir tentara-tentara Belanda dari wilayahnya.
Dioarama kapal di dalam Omo Nifolasara |
Sebagai gambaran, Prof. Jerome A. Feldman mengirim kepada penulis foto aktual yang digunakan dalam artikelnya untuk menunjukkan kapal yang dimaksud dalam diorama.
Jawaban
Laowõ ini membuat murka pemerintah Belanda. Selain kapal penjelajah,
dua meriam dan puluhan senjata laras panjang telah disita oleh Orahili. Sebuah
artileri juga dikuasai oleh Orahili dan artileri itu diletakkan di depan istana
raja. Bahkan hingga dua tahun kemudian,
artileri Belanda masih tetap berdiri di depan istana raja sebagai
tanda kemenangan raja. Raja masih menyebut dirinya "Pengusir
orang Belanda", dan penghinaan terhadap bendera Belanda masih tetap
berlanjut tanpa ada pembalasan, (Van Rees, 1866, hal. 47).
Menjadi
pertanyaan dimana dua meriam, artileri dan puluhan senjata
yang telah dilucuti itu sekarang?
Perang Orahili, 1863 dan Perang Hiligeho, 1908
Setelah
peristiwa pelucutan senjata yang memalukan itu, Belanda mengirim kembali satu
ekspedisi dengan kekuatan yang lebih besar. Seperti diketahui, pada ekspedisi ke Nias Selatan pada
bulan Mei dan Juni 1863, banua-banua yang menunjukkan diri mereka begitu
bermusuhan pada tahun 1861 yaitu Hilibõwõ, Orahili dan Botohõsi dibumihanguskan
oleh Belanda pada tahun 1863.
Pada
tanggal 25 Mei 1863 kapal-kapal
menjatuhkan sauh di teluk Lagundri pada pukul satu. Keesokan harinya 26 Mei 1863 pasukan Belanda menuju Hilibõwõ dan
mereka menguasainya dan dibakar. Dari sini eksplorasi dilakukan hingga
Orahili, di sepanjang jalan menuju Orahili Mayor Schenk terbunuh.
Mayor Fritzen mengutus Abdul Said penerjemah
dengan seorang pengikutnya dikirim ke Fadoro. Tetapi di tengah jalan mereka
ditangkap oleh Orahili. Hal ini semakin membuat murka Fritzen komandan pasukan
Belanda.
Kemudian pada 1 Juni pagi
Fritzen mengirim pengintai ke Orahili dan setelah semua informasi diketahui maka Orahili digempur dari
belakang dan setelah bertempur sengit selama 2 ½ jam Orahili mulai terdesak. Orahili
berhasil dikuasai oleh Belanda sehingga semakin memudahkan Belanda menghadapi
Botohõsi. Keberhasilan Belanda menguasai Orahili itu tidak serta merta diakui oleh Pemerintah Belanda sebagai
keberhasilan untuk menaklukan Orahili karena seperti yang dilaporkan oleh
Pemerintah Belanda pada 1 September 1863 sebagai berikut :
“Na vruchtelooze pogingen
te hebben aangewend om den radja van Orahili te doen betuigingen van hunne
gezindheid voor het goevernement waren komen afleggen, trokken de troepen den
12 junij naar het strande terug, na eerst Orahili in brand te hebben gestoken”.
Setelah berusaha berkali-kali meyakinkan hati raja dari Orahili untuk menyetujui dan mengakui pemerintahan tanpa hasil, maka pasukan menarik diri ke tepi pantai tanggal 12 Juni setelah membakar kampung Orahili lebih dahulu.
Belanda kembali gagal menangkap orang nomor satu yang paling dicarinya. Bahkan sebagai bentuk kefrustrasian Belanda karena tidak bisa menangkap Laowõ, komandan Pasukan Belanda memerintahkan pasukannya membakar Orahili. Setelah Orahili dibakar baru kemudian Hilibõwõ lalu Botohõsi dan Lõlõwa’u juga dibakar.
Belanda melaporkan
bahwa korban dari para pejuang Orahili lebih seratus orang yang meninggal itupun
tidak dapat dipastikan karena Belanda tidak melihat mayat-mayat para pejuang
itu dan mereka juga tidak mengetahui kemana perginya para pejuang Orahili. Kehilangan
musuh, kami
tidak mengetahui karena mereka
tidak pernah meninggalkan orang mati, seperti yang dilaporan pada bulan Juni
1863. Korban dari pihak kami, 5 orang tewas dan 21
terluka menurut
versi Belanda. Disana mereka melihat bahwa di depan
istana raja berdiri artileri Belanda yang disita oleh para pejuang pada tahun
1861. Artileri itu kemudian dibawa dan
di kirim ke Padang.
Selanjutnya dua
meriam yang mereka cari-cari tidak ditemukan. Dua meriam itu dibawa oleh para
pejuang Orahili. Sampai terjadi kembali konfrontasi dengan Belanda di Hiligeho
yang disebut dengan Serangan Umum di Hiligeho pada 3 dan 4 November 1908.
(Koran Lokomatif, November 1908 dan catatan Nitemaaro Wau). Setelah Saõnigeho
ditawan,
kemudian Belanda menemukan satu meriam dan beberapa pucuk senjata milik Belanda saat
mereka dilucuti pada tahun 1861 oleh Orahili. Belanda menemukan senjata dan
meriam itu pada bulan Mei
1909 dari seorang informan yang memberitahukan bahwa
senjata-senjata itu disembunyikan di belakang.
Komandan KRI Bima Suci 945, Letkol Laut (P) Waluyo, SH., M.Tr. Hanla Kamis, 14 Oktober 2021 |
Sebelum ditempatkan di pekarangan, meriam ini ditempatkan di dalam ruang pengadilan yaitu osali ndra ama atau lebih dikenal bale. Sebagaimana diketahui bale merupakan gedung pengadilan bagi orang Nias. Keberadaan meriam ini di dalam bale memiliki makna sebagai representasi Pemerintah Belanda yang menjadi pesakitan dan menjadi terhukum, dalam bahasa hukum adat disebut “lakhau” artinya dihukum. Adalah aib bila seseorang dihadirkan di ruang ini, “ba hare bale”. Pesannya kepada Pemerintahan Belanda bahwa Raja Belanda telah diadili dalam satu Pengadilan Inabsentia di Bawömataluo.
Meriam yang diletakkan di bale (Foto Feldman, 1974) |
Penutup
Aktikel
ini dihadirkan untuk mengenang kepahlawanan para Pejuang Orahili dan mengenang
legenda Raja Bermata Satu si De Verdrijver der Hollanders alias
“Sanabo Hulandro” pada peringatan 10 November 2021. Layak dan sepantasnya De Verdrijver der Hollanders kita
berikan kepada semua leluhur kita yang ikut berjuang bahu membahu mengusir
penjajah dari bumi Nias yang kita cintai ini.
Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghomati Jasa Pahlawannya.
Jasmerah demikian kata Bung Karno.
Selamat hari Pahlawan..mari kita teruskan perjuangan para pahlawan..Indonesia maju..
BalasHapusSaya bangga menjadi generasi para Pejuang Tanö Niha, semoga cerita ini bisa diabadikan dalam catatan sejarah Indonesia melawan penjajahan Belanda.
BalasHapusMantap. Sejarah yg patut diacungkan jempol utk mengenang perjuangan para pendahulu kita di bumi Nias tercinta. Semoga ini boleh menjadi acuan bagi Pemerintah utk mengusulkan kepada Pemerintah Pusat dan menjadikannya sbg Pejuang Kemerdekaan atau apapun namanya. Trima kasih bro Marselino Fau yg sdh berbagi informasi yg baik ini.
BalasHapus