Mengenang Raja Bermata Satu Si “De Verdrijver der Hollanders” dan Meriam Perjuangan Orahili

 Mengenang Raja Bermata Satu Si “De Verdrijver der Hollanders”

dan

Meriam Perjuangan Orahili

Oleh : Marselino Fau

Pengantar

Lukisan Laowõ, 2020

Ide menulis artikel ini berawal dari setelah penulis membaca laporan penelitian Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias yang disusun pada tahun 1988. Dalam laporan ini disebutkan satu julukan “De Verdrijver der Hollanders” dengan merujuk pada tulisan Tengku Luckman Sinar, SH. (Sejarawan dan Budayawan Melayu Sumatera Utara). Rasa penasaran penulis muncul ketika membaca makalah Tengku Luckman Sinar, SH., ini yang berjudul “PERANG NIAS (1840-1863)” KEPAHLAWAN RAJA ORAHILI (Mengenang kepahlawanan RAJA ORAHILI, dijuluki “DE VERDRIJVER DER HOLLANDERS” yang disampaikan pada Seminar Nasional “Mengenal Tokoh, Pejuang dan Pahlawan Sumatera Utara” diselenggarakan oleh Pussis Unimed pada 10 November 2007. Dalam benak penulis pasti ada nama siapa raja yang dimaksud. Namun setelah tuntas membacanya penulis tidak menemukan nama raja yang dimaksud.

Berawal dari sana, penulis mulai mencari tahu siapa raja yang dimaksud. Banyak klaim yang penulis dengar tetapi secara fakta historis tidak mendukung. Kendala utama ketika menulis artikel ini narasumber yang terbatas karena peristiwanya terjadi 165 tahun yang lalu, dimana tokoh dan saksi-saksinya serta penutur yang kompeten sudah tidak ada lagi sekarang. Kendala ini tidak mengurungkan niat penulis untuk berselancar mencari siapa sesungguhnya raja yang dimaksud. Berkat beberapa tulisan yang dipublikasikan pada kurun waktu tahun 1866 sampai 1967 akhirnya rasa penasarn penulis terjawab sudah dengan fakta-fakta historisnya.

Terima kasihku kepada paman Aturan Wau dengan gelar adat Tuha Siholaluo yang ada di Belgia yang banyak membantu penulis untuk menerjemahkan teks-teks berbahasa Belanda dan kepada ibu Helena atas terjemahan bahasa Jermannya serta kepada Prof. Jerome A. Feldman atas kiriman foto-foto aktual yang diberikan sehingga menghindari penulis dari interpretasi subjektifitas.

Sekilas Tentang Orahili dan Perjumpaan dengan Kompeni

Orahili adalah nama sebuah banua (negeri). Tahun berdirinya Orahili tak dapat dipastikan dengan pasti, tetapi berdasarkan perhitungan generasi maka kita akan sampai pada tahun perkiraan sekitar tahun 1700an. Perpindahan dari Lahusa ke Orahili mulai dari Laowõfa'oyana sampai tahun 1863 generasi Laowõsindruhu ada 8 generasi (versi silsilah di Bawõmataluo). Bila menggunakan perbandingan selisih generasi penulis dengan tahun berdirinya Bawõmataluo tahun 1868 (ada 6 generasi), maka rata-rata selisih antar generasi 17 tahun. Maka tahun pendirian Orahili dengan 8 generasi adalah sekitar tahun 1727.

Berikut ini, kurun waktu mulai dari Orahili, Bawõmataluo (Orahili Lama) dan Orahili Baru.

1.      K. l. 1700 - Juni 1863 adalah kurun waktu dengan nama Orahili.

2.      Juli 1863 - 1868 masa pengembaraan, warga Orahili mengembara selama 5 tahun mencari pemukiman baru sampai ke Barujõsifaedo dan menetap di Bawõmataluo.

3.    1868 warga Orahili menetap dengan nama Hili Fanayama, Bawõmataluo  (Orahili Lama).

4.     1907 Bawõmataluo pecah sebagian warganya mendirikan pemukiman baru di lokasi Orahili Lama dan sampai sekarang disebut Orahili (Orahili Baru).

Maka dari rentang waktu tersebut di atas akan memudahkan kita merekonstruksi sejarah yang terjadi pada masa itu.

Pada tanggal 15 April 1693 Kompeni membuka pos di Bawõhulando (antara Orahili dan Lagundri) dua tahun kemudian ditutup karena tidak cukup biaya untuk membiayainya. (Schröder, 1917 hal. 706). Tahun 1815 sampai 1825 Inggris berkuasa di Hindia Belanda termasuk Nias. Penandatanganan Traktat London antara Inggris dan Belanda pada 17 Maret 1824, dampaknya sampai ke Pulau Nias. Wilayah Sumatera diambil alih oleh Belanda. Inggris menyerahkan Nias kepada Belanda tahun 1825. Pada tahun 1846 Letnan Donleben melakukan topografi Nias Selatan di Lagundri. Artinya orang-orang Nias di bagian Selatan mulai kontak kembali dengan Belanda sekitar tahun 1840an, termasuk Orahili. 

Bagaimana gambaran situasi Orahili sebelum tahun 1863? Sebagai gambaran tentang Orahili pada awalnya seorang perwira Belanda memberi deskripsi tentang Orahili dalam jurnal Ekonomi dan Politik sebagai berikut: Orahili dikelilingi tembok besar dari tanah, berpagar dan dibentengi oleh bangunan-bangunan. Di dalamnya menyerupai kota pedesaan di Belanda, jalannya lurus dan lebar, dibatui dengan batu-batu datar yang besar. Rumah-rumahnya berdampingan. Rumah raja begitu indah sehingga membangkitkan kekaguman bagi yang melihatnya. Di dalamnya ada ukiran indah dan di depan rumah raja ada sebuah monument seperti orang Eropa yang menembakan altileri. Orahili ibarat seperti benteng, terbuat dari batu-batu dan memiliki parit yang sangat dalam Fritzen menambahkan bahwa atap rumah raja runcing.

Mengenal Siapa Raja Bermata Satu

Untuk menyingkap identitas siapa “De Verdrijver der Hollanders” penulis membawa pembaca untuk mengenal raja bermata satu dengan memperhatikan kesaksian-kesaksian orang yang pernah bertemu dengannya.

Bagi para peneliti dan penyuka sejarah Bawõmataluo bila melakukan penelitian dan berbicara tentang Bawõmataluo maka mereka akan dibawa pada sosok yang bernama Laowõ.  Seperti yang dikatakan oleh Schröder bahwa nama Laowõ menjadi topik menarik dalam diskusi etnografi.  Wataknya dinilai sebagai orang yang baik dari Orahili dan disisi lain penolakannya terhadap sidang-sidang Belanda di Teluk Dalam sangat kontradiktif (Schröder, 1917 hal. 731).  Tentu menjadi pertanyaan siapa Laowõ ini? 

Laowõ memiliki nama lengkap Laowõsindruhu atau juga sering disebut Laowõsiduhu. Ia dipanggil dengan nama Laowõ. Mengenal lebih jauh siapa Laowõ, penulis mengajak pembaca melihatnya dalam kurun waktu 1840an hingga 1890an.  Menulis tentang Laowo tentu saja bukan pekerjaan yang mudah karena ia hidup 1,5 abad yang lalu dimana orang Nias belum terbiasa dengan budaya tulis menulis. Seperti kita ketahui leluhur orang Nias memiliki kebiasaan untuk menceritakan sesuatu lewat lisan secara turun temurun yang disebut dengan hoho. Kebiasaan penuturan lewat lisan ini memiliki kelemahan karena lebih mengandalkan kemampuan ingatan. Lain halnya bila ditulis tentu saja memiliki keakuratan yang tinggi. Karena itu untuk mengurangi bias pada artikel ini, penulis menggunakan beberapa data yang ditulis berdekatan dengan kurun waktu tersebut dan dielaborasi dengan kisah-kisah yang pernah dituturkan.  

Pada kurun waktu tersebut di atas ada sebuah kisah yang sering dituturkan baik di Bawõmataluo maupun di Orahili sebagai berikut Manu namada Laowõ, manu mboto arawi bawa” artinya ayam Laowõ, badannya seperti ayam, berkepala musang. Dari ungkapan ini nama Laowõ jelas disebutkan disiniKisah ini konon merupakan kisah konfrontasi pertama antara Orahili dengan pedagang Kompeni saat itu. Ceritanya ketika pedagang Kompeni masuk ke Lagundri, Laowõ membuat kesepakatan dengan mereka. Pada perjanjian itu disepakati bahwa Belanda dan Orahili akan mengadakan pertandingan sabung ayam. Jika ayam Belanda yang menang maka Belanda boleh tetap berdagang di Lagundri tetapi jika ayam Laowõ yang menang maka Belanda harus tunduk pada aturan Orahili.

Lalu untuk memenangkan pertandingan ini Laowõ menyiapkan ayam aduannya melawan pedagang Kompeni. Laowõ mengambil seekor musang, kemudian badan musang ini dianyam dengan bulu-bulu ayam sehingga musang ini sungguh-sungguh menyerupai ayam. Badan dan kepalanya seperti ayam jantan, yang sesungguhnya adalah musang. Singkat cerita ketika pertandingan dimulai ayam Belanda dimasukan dalam arena demikian juga ayam milik Laowõ. Ketika ayam Laowõ di turunkan langsung menyerang dan memangsa ayam Belanda. Oleh karena itu seperti yang disepakati, pedagang Belanda dinyatakan kalah dan harus tunduk kepada Orahili. Dari situ mulai timbul kebencian Belanda kepada Orahili. Lalu apakah dengan kisah itu cukup menjelaskan siapa si “De Verdrijver der Hollanders”? Mari kita lihat penuturan berikut ini.

Kisah kehebatan ayam ini dituturkan dan dilantunkan dalam satu syair hoho (folklor) di Bawõmataluo yang mengisahkan ayam milik Tuha Famaedodanõ dan Tuha Famaedoluo, bunyinya sebagai berikut :

Khõ Namada Tuha Famaedodanõ,                 Teruntuk Tuanku Tuha Famaedodanõ  
Khõ Namada Tuha Famaedoluo,                    Teruntuk Tuanku Tuha Famaedoluo
So khõnia manu silairi lawa lani,                       Tuanku mememiliki ayam yang terbang di atas langit
So khõnia manu silairi lawa luo,                    Tuanku mememiliki ayam yang terbang di atas mentari
Felezara na manuge,                                       Sebelas kalau hinggap
Otu arua na humombo,                                   Seratus dua kalau terbang

Folklor ini mengisahkan bahwa si empunya gelar Tuha Famaedodanõ dan Tuha Famaedoluo memiliki seekor “ayam” yang tiada duanya. Sebelas kalau hinggap dan seratus dua kalau terbang dan terbangnya di atas langit dan di atas matahari. Lalu apa makna hoho tersebut Hoho ini memberi dua pesan yang hendak disampaikan, pertama adalah Tuha Famaedodanõ dan Tuha Famaedoluo memiliki ayam yang sangat hebat. Pesan yang kedua, ayam yang dijadikan objek dalam wujud seekor musang bisa terbang di langit dan di atas matahari serta bisa membagi diri karena saktinya. Tentu hoho ini bukan sekedar isapan jempol semata, dulu di tengah pekarangan Bawõmataluo ada tiang yang tingginya sekitar 20 m.  Di ujung tiang itu diletakkan patung seekor ayam yang sedang terbang sebagai objektifikasi hoho tersebut. Gelar Tuha Famaedodanõ dan Tuha Famaedoluo adalah gelar Laowõ sendiri. Jadi sosok yang dimaksud dalam ungkapan “Manu namada Laowõ, manu mboto arawi bawa” adalah Laowõsindruhu.

Beberapa rentetan peristiwa yang membuat Belanda makin tidak senang dengan Orahili yakni, Januari 1855 satu komisi dikirim oleh Pemerintah Belanda ke Orahili, tetapi mereka disambut dengan tidak menyenangkan. Lalu pada bulan Desember 1855, Belanda mengadakan pertemuan dengan para pemimpin di Lagundri, Orahili diundang tetapi dari Orahili tidak ada yang datang. (Wall, 1883, hal. 202).  Karena bagi raja Orahili, Belandalah yang harus tunduk dan mengakui otoritasnya. Lagi-lagi pada pada tahun 1857 pejabat Gubernur Sipil, Heijlegers melakukan kunjungan di beberapa banua di Selatan Nias, dimana-mana dia disambut dengan sambutan yang baik dan ramah, kecuali di Orahili, dimana mereka memandang rendah kepadanya (Van Hoovell, 1860, Hal. 340).

Untuk menjawab pertanyaan siapa Laowõ, penulis mengutip satu tulisan Dr. J. H. Gunning dalam satu Majalah mingguan yang diterbitkan pada Sabtu, 27 Juni 1926, hal. 194 sebagai berikut : “Pada tahun 1863 sebuah kampung berbenteng, yang disebut Orahili  berhasil mengalahkan ekspedisi Belanda tiga kali, baru pada ekspedisi keempat Orahili dapat dikuasai oleh Belanda.

Lalu apa hubungannya dengan Laowõ? Hubungannya mari kita lihat dari hasil rapat pada 2 Januari 1856 seperti yang ditulis oleh Wolfgang R. Schimidt, 1967 ketika ekspedisi Belanda di bawah Kapten de Vos tiba di Lagundri menjadi topik pembicaraan di Orahili. Pada hari itu juga warga Orahili mengadakan rapat dengan keputusan: “Warga Orahili akan melawan Belanda”. Pada rapat itu warga Orahili menyerukan “He Laowõ, pimpinlah kami, Engkaulah pembunuh Belanda. Panggillah 14 banua lain sekutu kita yang sehati sejiwa (kebulatan hati seperti hunõ baruzõ). Ayo kita berperang”. Lalu Laowõ melemparkan tombaknya di tengah pekarangan sebagai tanda perang. Kemudian para prajurit mengiris lengannya diujung tombak itu hingga berdarah. (Wolfgang R. Schmidt, dalam buku Maniamõlõ, 2019, hal. 104).  Mengutip Johannes M. Hammerle dalam bukunya Omo Sebua, 1990 hal. 145; mengatakan bahwa Laowõ adalah penguasa desa yang sangat kuat di Orahili pada masa itu ketika serbuan Belanda di Teluk Lagundri 1856.

Dari informasi di atas kita mengetahui bahwa Laowõ adalah pemimpin Orahili saat menghadapi ekspedisi Belanda dikurun waktu 1840an sampai tahun 1863. Salah satu ciri pemimpin utama saat itu dapat dilihat dari wewenangnya, karena hanya pemimpin utama yang boleh menyatakan perang. Dalam konteks budaya lokal jabatan pemimpin utama itu disebut “Balõ Zi’ulu”. Dalam buku De Pionniers Der Beschaving in Neerlands Indie, van Rees mengatakan bahwa di Nias, pemimpin utamalah yang menyatakan perang dan perdamaian. (Van Rees 1866, hal. 42).

Seruan warga Orahili “He Laowõ, pimpinlah kami, Engkaulah pembunuh Belanda” menunjukkan bahwa Laowõ adalah pemimpin mereka dan anak kalimat engkau adalah pembunuh Belanda mau menyatakan bahwa pengalaman mereka berperang di bawah pimpinan Laowõ memerangi Belanda telah berulang kali sebagaimana yang ditulis oleh Dr. J. H. Gunning di atas.  

R. Schmidt mencatat satu pembicaraan pada satu orahua mbanua (persidangan) di Hilisimaetanõ saat Si’ila yang membuka persidangan mengatakan sebagai berikut :

“…..Vor zwanzig Jahren hat Bawömataluo die Weißen vertrieben!
Die Krieger waren stark unter Lauwus Führung!....” (R. Schmidt 1967, hal. 11)


Dua puluh tahun yang lalu Bawõmataluo telah mengusir orang kulit putih!
Para prajurit itu kuat di bawah kepemimpinan Laowõ!

Ketika Joachim Freiherr von Brenner berkunjung di Bawõmataluo pada tanggal 5 Juni 1887 mengatakan bahwa dia disambut oleh Laowõ tua, bermata satu, sosok yang hangat. Hier erwatete uns der greise einäugige Laubo,…. (Brenner Felsach, 1890 hal. 28). Dia adalah seorang kepala suku yang kaya, tidak hanya rumahnya yang megah, tetapi juga mempunyai gudang senjata yang mengagumkan. Dari penuturuan Famohouni (cucu Sihola saudara Laowõ) kepada penulis (1992), mengatakan bahwa kakeknya Laowõ “lõna sulu sambua” artinya matanya hanya satu disebabkan karena terkena serpihan bom saat perang melawan Belanda. Tentang raja Orahili yang terluka ini dilaporkan oleh Departemen Perang dalam satu artikel “Laporan dari Nias” tertanggal 27 Juni 1863  pada pertempuran tahun 1863.

Lebih lanjut lagi Joachim mengatakan bahwa saat Laowõ mengumpulkan rakyatnya selama dua hari dan pada satu sesi dimana dia berpidato yang sebagian besar isi pidatonya bersifat politis dan pidatonya sangat memusuhi Belanda (Brenner Felsach, 1890 hal. 29).  Disini kita bisa melihat bahwa apa yang dikatakan oleh Joachim ini linier dengan apa yang disampaikan oleh Schröder di atas.

Pembumihangusan Orahili pada tahun 1863 menyebabkan mereka telah membangun kampungnya, juga bentengnya di atas bukit yang tinggi, berada di ketinggian 400 meter. Rajanya sangat kuat sehingga menurutnya Kompeni tidak akan pernah bisa masuk, dia menentang Belanda disana dan menyebut dirinya pembasmi Belanda. Testimoni ini ditulis oleh Wetselaar seorang tentara Belanda yang ikut berperang pada tahun 1863 di Orahili yang dipublikasikan pada tanggal 10 Juli 1908.

Hal yang sama tentang julukan Laowõ ini ditulis oleh Bieger, seorang misionaris yang memberikan konfirmasi dalam laporan perjalanannya pada satu majalah Zending yang dipublikasikan tahun 1918 dan dicetak ulang tahun 1921 mengatakan bahwa raja  bermata satu dari Bawõmataluo yang terbesar dan paling kuat, memiliki  nama besar: "Sanabo Hoelandro" artinya Pengusir Belanda (Bieger 1918, hal. 29). Atas informasi ini akhirnya kita mengetahui bahwa yang dimaksud W. A van Rees untuk julukan raja Orahili dengan sebutan “De Verdijver der Hollanders” (van Rees, 1866 hal. 47) artinya Pengusir orang-orang Belanda yang dalam bahasa Nias disebut "Sanabo Hoelandro" adalah Raja bermata satu dari Bawõmataluo alias Orahili Lama.

König von Orahili  (Raja Orahili)1887

Dalam dokumen-dokumen berbahasa Belanda nama Bawõmataluo sering ditulis dengan sebutan Orahili Lama sehingga bila kita membaca keterangan foto yang ditulis oleh Joachim tentang sosok yang ada dalam satu foto dengan keterangan König von Orahili (Raja Orahili) bukanlah kesalahan sekalipun saat itu Joachim bertemu dengan Laowõ di Hili Fanayama sebelum ganti nama menjadi Bawõmataluo, karena nama Orahili masih melekat dengan mereka. Foto Laowõ 1887.

Informasi tentang siapa Laowõ, juga dapat kita temukan dari catatan perjalanan misionaris Thomas dan Fehr pada Agustus 1881 yang dipublikasikan pada tahun 1882 sebagai berikut :  “Am Montag Morgen branchen Thomas und Fehr in Begleitung zweier Leute von Hili Sondregeasi auf nach Orahili oder, wei es jetzt heifst, Hili Mataluo. Der mit uns nach Lagundri gekommene Unterhäuptling wartete auf die Missinare an der Badestelle des alten Orahili. Der einäugige Oberhäuptling dagegen, der sich einst "Vertreiber der Holländer" gennant hatte, liesfs langere Zeit auf sich warten”. (Kurze 1882, hal. 91).

Senin pagi, Thomas dan Fehr ditemani dua orang berangkat dari Hili Sondregeasi ke Orahili atau sekarang disebut Hili Mataluo. Wakil kepala suku yang ikut bersama kami datang ke Lagundri menunggu para misionaris di tempat permandian di Orahili Lama. Sebaliknya kepala suku bermata satu yang menamakan dirinya “Pengusir Belanda” sudah lama menunggu.

Jadi dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bahwa Julukan “De Verdijver der Hollanders” atau "Sanabo Hoelandro" tidak lain tidak bukan disematkan kepada Laowõ yang bernama lengkap Laowõsindruhu dengan gelar Tuha Famaedodanõ dan Tuha Famaedoluo.

Pertempuran Fabaliwa Yang Menakutkan Tentara Belanda

Perlawanan para pejuang Orahili merupakan momok bagi Belanda terutama pada tahun 1856 dan memuncak pada tahun 1861. Satu ekspedisi Belanda diberangkatkan dari Sibolga tanggal 30 Desember 1855 sekitar jam 3 menuju Lagundri. Belanda mengirim armada perangnya dengan 2 kapal perang, 3 kapal penjelajah, 120 prajurit infanteri dan mortir untuk menghukum Orahili (Schröder, 1917). Sebagaimana diketahui pasukan ekspedisi bagi Belanda adalah pasukan elit yang khusus dibentuk untuk satu operasi. Armada perang ini tiba di Lagundri pada tanggal 2 Januari 1856.  

Foto Para pejuang dari Orahili dan Botohosi 1875
Kedatangan Belanda ini menjadi topik pembicaraan di Orahili. Pada hari itu juga warga Orahili mengadakan rapat dengan keputusan warga Orahili akan melawan Belanda. Di luar perkiraan pasukan Belanda, ternyata setibanya di Lagundri raja Orahili, Botohosi dan warganya sedang menunggu pasukan pemerintah Belanda dengan senjata di tangan. Akhirnya mereka mengurungkan niatnya untuk mendarat di Lagundri. Mereka bermalam  di atas kapal. Mereka baru turun dua hari kemudian.

Sebelum pertempuran pecah pada 6 Januari 1856, dari informasi yang didapat oleh komandan pasukan Belanda bahwa semua pintu masuk ke Orahili ditutup sehingga tidak dapat dilewati. Hanya satu jalan yang mengarah dari Fadoro ke Lagundri yang masih terbuka; tapi juga tidak bisa digunakan malam itu. Karena tidak ada jalan lain, maka pasukan Belanda terpaksa menerobos semak-semak. Setelah berjalan selama satu jam,  mereka mulai mendekati Orahili. Pada saat yang sama sekitar lima puluh pasukan Orahili yang bersenjatakan senapan, menghadang mereka. Lokasi pertempuran ini disebut Fabaliwa. Para pejuang Orahili telah menyiapkan perangkap di kanan kiri jalan. Mereka membuat jebakan dengan menggali lubang-lubang dan ditutup daun-daun, di dalamnya telah ditanam “sulege(kayu dan bambu runcing). Di atas pohon telah digantung bowoa lamaeha (periuk tanah liat) yang berisi abu sebagai pengganti bom asap, senjata boji ohi yaitu senjata yang dapat memukul musuh karena menginjak jebakan, (Tafali dalam Laporan Penelitian Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias, 1988 hal. 40) dan gelondongan kayu yang digantung di atas pohon.

Ketika pasukan Belanda melewati Fabaliwa mereka dihadang pasukan Orahili. Setelah beberapa tembakan yang dilontarkan oleh para pejuang Orahili dan mengenai sasaran yang menimbulkan kepanikan bagi musuh, lalu tali-tali pengikat bowoa lemaeha  dan gelondongan kayu diputus kemudian abu-abu itu berserakan membuat pasukan Belanda kocar-kacir, ada yang jatuh ke dalam lobang-lobang perangkap. Ketangguhan para pejuang Orahili dilukiskan oleh Hooyer, 1896 dalam Sejarah Perang Belanda berikut ini : “Musuh segera melepaskan tembakan dan melemparkan batu dari belakang tembok pembatas, sehingga pasukan mulai ada yang terluka, sementara tembakan artileri dan infanteri kami tampaknya tidak banyak mempengaruhi para pejuang”.

Setelah banyak yang terluka para prajurit mulai panik dan ketakutan, sampai-sampai para prajurit menolak untuk mengganti teman mereka yang jatuh. Komandan bertanya pada sukarelawan; dia mengulangi permintaannya empat kali; hanya Sersan Dungeman dan Strey yang secara sukarela menemani kapten mereka. Maju bersama dua pria sama cerobohnya dengan sia-sia; tetap terkena peluru musuh juga. Sudah dilaporkan dua kali bahwa pasukan Orahili mencoba memotong bagian belakang; mereka hampir tiga jam dari pantai, hampir seluruh penjaga telah mundur, dan para kuli angkut telah memilih jalan kecil untuk kabur. Jadi tidak ada yang bisa dilakukan selain mundur. Kapten de Vos memerintahkan agar yang terluka dibawa kembali oleh tentara; demikian juga halnya dengan amunisi dan barang berharga lainnya. Dua orang mati harus ditinggal di tangan musuh. Ada delapan belas yang terluka, enam di antaranya berat. Terlebih lagi Hamers, Eavallet dan Schuurman terbaring terluka, beberapa hari kemudian Mayor Schwenk meninggal, (Van Rees, 1866, hal. 12).

Menyadari pasukannya tidak menemukan cara untuk menaklukan musuh, Kapten De Vos memerintahkan pasukannya mundur. Ekspedisi ini merupakan ekspedisi gagal yang sangat mempermalukan Belanda. Tentara Belanda melarikan diri dan meninggalkan begitu saja tentara mereka yang sudah tewas. Inilah pertempuran yang sangat menakutkan bagi Belanda melawan para pejuang Orahili. Peperangan di Fabaliwa ini sangat melegenda di Bawõmataluo dan Orahili.

Kemudian setelah kekalahan itu, Mayor Jenderal de Brauw, menyarankan agar pemerintah mengirim ekspedisi militer ke Nias untuk menghukum Orahili. Kekalahan ini membuat gubernur dan panglima militer pantai Barat Sumatera, Van Swieten ingin sekali bercokol di Nias Selatan.  Pada tanggal 30 Januari 1856, Jenderal Van Swieten menyampaikan  niatnya kepada komandan militer negara-negara bagian bawah Padang agar di bagian Selatan Pulau Nias, di teluk Lagundi, atau Luaha Gunde, untuk mendirikan sebuah benteng yang akan ditempati oleh dua perwira dan 75 orang tentara.

Kemudian pada tanggal 10 Maret 1856 kembali dikirim 2 brigs sekunar perang, 1 sekunar, 3 kruisprauwen dan 3 kapal lainnya, dengan kekuatan 200 orang di dalamnya. Mereka membangun benteng di Lagundri secara perlahan dengan tujuannya ingin menegakkan penghormatan terhadap otoritas Belanda. Selama disana mereka tidak melakukan infiltrasi secara agresif tetapi mereka memperkuat hubungan dengan banua yang bermusuhan dengan Orahili. Dikutip dari Laporan Pendirian Belanda di Lagundri, 1859 hal. 332.

Orahili Melucuti Belanda

Setelah Belanda kembali mendirikan benteng di Lagundri dan sebelum Belanda menyerang Orahili, pada tanggal 16 Februari 1861 terjadi gempa bumi yang dahsyat selama 15 menit disusul dengan gempa susulan. Gempa ini menghancurkan benteng Belanda di Lagundri. Keesokan harinya para pejuang Orahili mendatangi benteng Belanda di Lagundri dan melucuti tentara Belanda dan mereka menguasai sebuah kapal (Schröder, 1917 hal. 724) dan puluhan pucuk senjata serta dua buah meriam dan sebuah meriam artileri (Van Rees, 1866 hal. 46). Jika para perjuang Orahili menghendaki menghabisi semua tentara Belanda yang sudah tak berdaya saat itu, sebenarnya bisa saja tetapi mereka tidak melakukannya karena dalam budaya orang Nias hidup dengan rasa malu (menyangkut kehormatan) jauh lebih menyiksa dari pada mati. Peribahasa Nias mengatakan “tola mate moroi aila” lebih baik mati dari pada malu. Karena itu tentara Belanda dibiarkan pergi oleh para pejuang Orahili tetapi tanpa senjata sebagai bentuk penghinaan. (Catatan: dari versi para pejuang peristiwa itu disebut melucuti sedangkan dari versi penjajah disebut merampok/ merampas, tinggal pembaca berpihak kepada siapa).

Situasi ini memaksa pasukan Belanda berusaha mencari tempat berlindung di Hilibõwõ. Dikelilingi oleh musuh, sebagian besar Orahili, Hilibõwõ dan Botohõsi; praktis tanpa makanan, seluruh garnisun kelelahan dan sakit, sementara gempa bumi terus berulang dan air laut naik lagi, tidak ada pertahanan. Karena itu diputuskan untuk memanggil bantuan Raja Hilibõwõ.

Berita bahwa Belanda berlindung di Hilibõwõ, sampai kepada raja Orahili dan ia memberikan ultimatum kepada Hilibõwõ : “Bila kalian memberikan perlindungan kepada Belanda kalian adalah musuh kami”. Mendengar ultimatum dari raja Orahili, raja Hilibõwõ kemudian mengusir tentara-tentara Belanda dari wilayahnya. 

Dioarama kapal di dalam Omo Nifolasara
Peristiwa pelucutan senjata ini diabadikan dalam satu diorama yang diukir di dinding sebelah kiri bagian depan (tawolo) dalam Omo Nifolasara Bawõmataluo di rumah Laowõ. Penempatan diorama di atas lagõlagõ mau memberikan pesan seperti yang dikatakan dalam ungkapan “sitõra ba lagõlagõ” tola u’o’ayagõ artinya yang melebihi kepala (posisi lagõlagõ rumah tradisional Nias ada di atas kepala) saya bisa atasi. Sehebat apapun Belanda, mereka kami lucuti itulah pesannya.  

Dari foto diorama di atas terlihat ayam yang bertengger di atas bendera, ini sebagai penghinaan pada bendara Belanda dan seekor ayam yang bertengger di atas meriam. Ayam dalam budaya Nias disebut juga laia (ayam jantan) dan dari kata laia terbentuk kata lai'la'i yang berarti orang yang sangat kuat yang kemudian kata ini sering digunakan sebagai sebutan kepada samui.  

Sebagai gambaran, Prof. Jerome A. Feldman mengirim kepada penulis foto aktual yang digunakan dalam artikelnya untuk menunjukkan kapal yang dimaksud dalam diorama

Atas peristiwa pelucutan senjata yang dilakukan oleh Orahili, Pemerintah Belanda memberikan ultimatum kepada raja Orahili (Laowõ) agar mengembalikan meriam yang telah dikuasai oleh pejuang Orahili. Ultimatum itu dijawab oleh Laowõ : “Jika berani ambil sendiri”.  Wetselaar, 1908, menulis kesaksiannya sebagai berikut : Raja Orahili telah menghina pemerintah Belanda dengan berbagai cara, ia merampas senjata kami. Mayor Fritzen (komandan ekspedisi yang melawan Raja Orahili) sebagai wakil pemerintahan Belanda menuntut raja Orahili mengembalikan senjata rampasannya. Raja Orahili menjawab: Jika Kompeni menginginkan senjatanya kembali, mereka harus datang dan mengambil sendiri, jika berani.

Jawaban Laowõ ini membuat murka pemerintah Belanda. Selain kapal penjelajah, dua meriam dan puluhan senjata laras panjang telah disita oleh Orahili. Sebuah artileri juga dikuasai oleh Orahili dan artileri itu diletakkan di depan istana raja. Bahkan hingga dua tahun kemudian, artileri Belanda masih tetap berdiri di depan istana raja sebagai tanda kemenangan raja.  Raja masih menyebut dirinya "Pengusir orang Belanda", dan penghinaan terhadap bendera Belanda masih tetap berlanjut tanpa ada pembalasan, (Van Rees, 1866, hal. 47).

Menjadi pertanyaan dimana dua meriam, artileri dan puluhan senjata yang telah dilucuti itu sekarang?

Perang Orahili, 1863 dan Perang Hiligeho, 1908

Setelah peristiwa pelucutan senjata yang memalukan itu, Belanda mengirim kembali satu ekspedisi dengan kekuatan yang lebih besar. Seperti diketahui, pada ekspedisi ke Nias Selatan pada bulan Mei dan Juni 1863, banua-banua yang menunjukkan diri mereka begitu bermusuhan pada tahun 1861 yaitu Hilibõwõ, Orahili dan Botohõsi dibumihanguskan oleh Belanda pada tahun 1863.

Pada tanggal 25 Mei 1863 kapal-kapal menjatuhkan sauh di teluk Lagundri pada pukul satu. Keesokan harinya 26 Mei 1863 pasukan Belanda menuju Hilibõwõ dan mereka menguasainya dan dibakar.  Dari sini eksplorasi dilakukan hingga Orahili, di sepanjang jalan menuju Orahili Mayor Schenk terbunuh.

Mayor Fritzen mengutus Abdul Said penerjemah dengan seorang pengikutnya dikirim ke Fadoro. Tetapi di tengah jalan mereka ditangkap oleh Orahili. Hal ini semakin membuat murka Fritzen komandan pasukan Belanda.

Kemudian pada 1 Juni pagi Fritzen mengirim pengintai ke Orahili dan setelah semua informasi diketahui maka Orahili digempur dari belakang dan setelah bertempur sengit selama 2 ½ jam Orahili mulai terdesak. Orahili berhasil dikuasai oleh Belanda sehingga semakin memudahkan Belanda menghadapi Botohõsi. Keberhasilan Belanda menguasai Orahili itu tidak serta merta diakui oleh Pemerintah Belanda sebagai keberhasilan untuk menaklukan Orahili karena seperti yang dilaporkan oleh Pemerintah Belanda pada 1 September 1863 sebagai berikut :

Na vruchtelooze pogingen te hebben aangewend om den radja van Orahili te doen betuigingen van hunne gezindheid voor het goevernement waren komen afleggen, trokken de troepen den 12 junij naar het strande terug, na eerst Orahili in brand te hebben gestoken”.

Setelah berusaha berkali-kali meyakinkan hati raja dari Orahili untuk menyetujui dan mengakui pemerintahan tanpa hasil, maka pasukan menarik diri ke tepi pantai tanggal 12 Juni setelah membakar kampung Orahili lebih dahulu.

         “Alle pogingen om den radja van Orahili te doen uitleveren vergeefsch” Semua upaya untuk                 menyerahkan raja Orahili sia-sia” (Wall, 1883, hal. 206). Dalam bahasa Schröder, (1917) segala             upaya agar siulu Orahili diekstradisi tidak membuahkan hasil.

Belanda kembali gagal menangkap orang nomor satu yang paling dicarinya. Bahkan sebagai bentuk kefrustrasian Belanda karena tidak bisa menangkap Laowõ, komandan Pasukan Belanda memerintahkan pasukannya membakar Orahili.  Setelah Orahili dibakar baru kemudian Hilibõwõ lalu Botohõsi dan Lõlõwa’u juga dibakar.

Belanda melaporkan bahwa korban dari para pejuang Orahili lebih seratus orang yang meninggal itupun tidak dapat dipastikan karena Belanda tidak melihat mayat-mayat para pejuang itu dan mereka juga tidak mengetahui kemana perginya para pejuang Orahili. Kehilangan musuh, kami tidak mengetahui karena mereka tidak pernah meninggalkan orang mati, seperti yang dilaporan pada bulan Juni 1863. Korban dari pihak kami, 5 orang tewas dan 21 terluka menurut versi Belanda. Disana mereka melihat bahwa di depan istana raja berdiri artileri Belanda yang disita oleh para pejuang pada tahun 1861.  Artileri itu kemudian dibawa dan di kirim ke Padang.

Selanjutnya dua meriam yang mereka cari-cari tidak ditemukan. Dua meriam itu dibawa oleh para pejuang Orahili. Sampai terjadi kembali konfrontasi dengan Belanda di Hiligeho yang disebut dengan Serangan Umum di Hiligeho pada 3 dan 4 November 1908. (Koran Lokomatif, November 1908 dan catatan Nitemaaro Wau). Setelah Saõnigeho ditawan, kemudian Belanda menemukan satu meriam dan beberapa pucuk senjata milik Belanda saat mereka dilucuti pada tahun 1861 oleh Orahili. Belanda menemukan senjata dan meriam itu pada bulan Mei 1909 dari seorang informan yang memberitahukan bahwa senjata-senjata itu disembunyikan di belakang.

Komandan KRI Bima Suci 945, 
Letkol Laut (P) Waluyo, SH., M.Tr. Hanla
Kamis, 14 Oktober 2021
Satu meriam yang tidak berhasil ditemukan dan meriam itu sekarang diletakkan di pekarangan bale (balai) Bawõmataluo. Meriam ini merupakan satu monument bersejarah bagi Bawõmataluo (Orahili Lama) untuk mengenang kepahlawanan para pejuang Orahili saat mengusir Belanda. 

Sebelum ditempatkan di pekarangan, meriam ini ditempatkan di dalam ruang pengadilan yaitu osali ndra ama atau lebih dikenal bale. Sebagaimana diketahui bale merupakan gedung pengadilan bagi orang Nias. Keberadaan meriam ini di dalam bale memiliki makna sebagai representasi Pemerintah Belanda yang menjadi pesakitan dan menjadi terhukum, dalam bahasa hukum adat disebut lakhau” artinya dihukum. Adalah aib bila seseorang dihadirkan di ruang ini, “ba hare bale”Pesannya kepada Pemerintahan Belanda bahwa Raja Belanda telah diadili dalam satu Pengadilan Inabsentia di Bawömataluo.

Meriam yang diletakkan di bale (Foto Feldman, 1974)

Penutup

Aktikel ini dihadirkan untuk mengenang kepahlawanan para Pejuang Orahili dan mengenang legenda Raja Bermata Satu si De Verdrijver der Hollanders alias “Sanabo Hulandro” pada peringatan 10 November 2021. Layak dan sepantasnya De Verdrijver der Hollanders kita berikan kepada semua leluhur kita yang ikut berjuang bahu membahu mengusir penjajah dari bumi Nias yang kita cintai ini.

Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghomati Jasa Pahlawannya.

Jasmerah demikian kata Bung Karno.

 

 

 

Komentar

  1. Selamat hari Pahlawan..mari kita teruskan perjuangan para pahlawan..Indonesia maju..

    BalasHapus
  2. Saya bangga menjadi generasi para Pejuang Tanö Niha, semoga cerita ini bisa diabadikan dalam catatan sejarah Indonesia melawan penjajahan Belanda.

    BalasHapus
  3. Mantap. Sejarah yg patut diacungkan jempol utk mengenang perjuangan para pendahulu kita di bumi Nias tercinta. Semoga ini boleh menjadi acuan bagi Pemerintah utk mengusulkan kepada Pemerintah Pusat dan menjadikannya sbg Pejuang Kemerdekaan atau apapun namanya. Trima kasih bro Marselino Fau yg sdh berbagi informasi yg baik ini.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bawömataluo, “Negeri Sejuta Nama dan Makna”

TOLÕGU DI ALAM PEMIKIRAN NIHA RAYA