NIKAH MASAL, Antara MEMANUSIAKAN atau MELECEHKAN KEMANUSIAAN

NIKAH MASAL, 

Antara MEMANUSIAKAN atau MELECEHKAN KEMANUSIAAN 

Oleh : Marselino Fau

Beberapa waktu yang lalu viral program dakwah Ustad Abdul Muni’m yang ingin mengadakan “nikah masal’’ di Nias Selatan. Masyarakat Nias merespon pernyataan ustad Abdul Muni’m itu dengan berbagai macam cara. Singkatnya orang Nias menganggap bahwa itu tidak sesuai dengan budaya Nias. Bahkan berita terakhir yang saya baca, Ketua MUI Nias Selatan, Bapak Milyar Wau mengutuk keras rencana nikah masal tersebut. Penolakan masyarakat Nias atas rencana nikah masal ini menurut saya sangat masuk akal, tetapi apakah nikah masal ini sungguh bertentangan dengan adat Nias? Ini pertanyaan yang perlu dijawab, bertentangannya dimana?

Pada artikel ini saya akan mencoba membawa pembaca untuk melihat dan memahami pernikahan dalam budaya Nias.

Sekilas Tentang Pernikahan Orang Nias

Bagi orang Nias, Pernikahan adalah suatu acara yang sangat sakral. Tidak hanya sekedar seremonial dan sebagai legitimasi hukum adat, tetapi lebih dari itu dalam perkawinan ada dimensi trasenden dan hukum moral. Kedua hal ini menjadi landasan bagi orang Nias untuk menikah. Sebelum orang Nias mengenal agama, penikahan dilakukan sesuai dengan tradisi yang berkembang saat itu.

Ketika Joachim Freiherrn von Brenner berkunjung ke Bawömataluo pada tahun 1887 ia mengatakan bahwa orang Nias sangat menghormati perkawinan, dan hukum ini sangat ketat sehingga orang yang melakukan perzinahan maka hukumnya adalah hukuman mati. Ia menulis sebagai berikut “Di lantai kami melihat noda darah gelap yang besar. Kami mendengar dari pertanyaan kami bahwa dua hari yang lalu seorang pria dan wanita telah dieksekusi di sini karena perzinahan, yang merupakan hukuman mati”. Peristiawa ini terjadi dalam satu bangunan yang disebut bale (balai desa).

Bahkan orang yang menikah tetapi tidak memenuhi adat yang sudah ditetapkan, jika ia adalah siúlu (bangsawan) ia bisa menjadi rakyat biasa, jika ia adalah si’ila (cerdik-pandai) maka ia diganti oleh orang lain sehingga ada ungkapan “awuwu zamuru niha, ba tedou zamöli so’aya”. Sedangkan jika ia adalah sato (rakyat biasa) maka ia bisa dikeluarkan dari banua (labeta ya banua); informan Mendruatönöni Manaö, 1980.

Pada awalnya masyarakat Nias mengenal strata sosial yang dibedakan sebagai berikut :

1.       Si'ulu (Bangsawan)

2.       Si'ila (Cerdik- Pandai)

3.       Sato (Masyarakat Umum)

4.       Sawuyu (Budak)

5.       Harakana (Budak Kurban)

Pembagian strata sosial ini mempengaruhi kehidupan sosial pada masa itu hingga sekarang ini masih ada jejak-jejaknya. Salah satu pengaruhnya adalah dalam pernikahan. Pernikahan antar strata pada awalnya tidak lazim dalam masyarakat Nias, pernikahan hanya terjadi antar sesama kelompok dalam satu strata. Bila ada pernikahan antar kasta itu dibolehkan dengan konsekuesi kehilangan status sosial bagi kasta tertinggi, khususnya bagai kaum wanita, karena masyarakat Nias berdasarkan garis patrilineal.

Setelah orang Nias mengenal agama maka pernikahan sudah tidak mendasarkan pada status sosial bahkan pernikahan sudah lintas suku. Namun demikian hukum adatnya masih mengikat dan berlaku sekalipun tidak seperti pada masa sebelumnya, walau hanya coraknya saja (hatö la’a-la’a).

Filosofi Famaoso Noro

Ketika seorang pria muda telah mencapai usia menikah, orang tuanya akan bertanya apakah dia ingin menikah. Bila ia ingin menikah maka, ia ditanya apakah ia memiliki gadis pilihannya. Jika belum maka dia mencari gadis yang cocok, dan setelah ditemukan yang sesuai dengan keinginannya, baru kemudian orang tuanya mengutus seseorang untuk menyampaikan niatnya kepada keluarga si wanita, tahapan ini disebut “mame li”. Sang utusan akan bertanya kepada keluarga si gadis apakah keluarga yang mengutusnya, anak dan kerabatnya boleh datang untuk makan bersama dengan keluargamu.

Ibu gadis itu bertanya kepada suaminya, dan anak gadisnya apakah dia ingin memberikan pinang kepada pemuda yang dimaksud. Jika sang gadis mengatakan mau maka keluarga pemuda akan datang pada hari yang telah disepakati.

Keluarga pemuda itu membawa ana'a wamatuasa 3 batu emas sebagai ikatan pertunangan. Schröder menulis bahwa di Bawömataluo jumlah yang dibutuhkan pada pertunangan adalah: untuk si’ulu 12 batu, untuk si'ila 3 batu, untuk sato 1 batu, atau tidak ada jika tidak ada. Kedatangan pihak keluarga si pemuda ke keluarga pihak wanita bertujuan untuk meminang gadis itu dan tahapan ini disebut famatua (bertunangan). Setelah bertunangan, beberapa lama kemudian pihak laki-laki datang lagi kepada pihak perempuan untuk menanyakan berapa jujuran yang akan dibawa oleh calon menantunya. Tahapan ini disebut “famaoso noro”. Ada kalanya saat tunangan, famaoso noro juga langsung disepakati.

Famaoso Noro secara harafiah dapat diartikan mengangkat beban pikulan yang maknanya adalah memberikan beban kepada laki-laki dalam bentuk jujuran. Jadi beban yang diberikan kepada laki-laki adalah beban yang dapat ia pikul. Seorang tidak akan diberikan beban yang lebih berat dari pada yang dapat ia pikul.

Dari catatan Schröder di atas memberikan bukti kepada kita bahwa pada dasarnya jujuran pernikahan di Nias pada umumnya tidak memberatkan bagi yang hendak menikah karena diberikan seusai dengan kemampuan dalam strata sosialnya. Dibebankan berdasarkan kemampuan setiap orang. 

Bila jujuran dirasa berat oleh pihak laki-laki ada tahapan yang disebut manandrö dodo (meminta belas kasih) yang secara harafiah artinya meminta hati. Pada tahapan ini calon menantu datang kepada calon mertuanya lalu mengemukakan ketidakmampuannya untuk memberikan jujuran sebanyak yang diminta. Biasanya calon mertua mengabulkan permohonon keluarga menantunya karena merasa sayang dengan calon menantunya.

Ada satu ungkapan yang menggambarkan kedua belah pihak ketika proses manandrö dödö ini berlangsung yaitu tena sowöli ba tena samawa niha ira” artinya mereka bukan membeli dan bukan menjual orang. Maksudnya ketika pihak laki-laki datang bukan berarti mereka datang untuk tawar menawar harga. Jika pihak laki-laki membayar jujuran yang mahal bukan berarti ia sedang membeli. Sedangkan bagi pihak wanita, bila anak gadisnya dinikahkan dengan jujuran yang kecil, pihak wanita seolah sedang mengobral anaknya. Jadi landasan pemberian jujuran ini bukan karena jual beli tetapi böwö masi-masi (cinta kasih).

Adakalanya jika jujuran dirasa “berat” bagi sebagian orang tentu itu tidak bisa digeneralisasi sebagai penyebab utama orang Nias tidak menikah. Sebab ketika tahapan famaoso noro dan manadrö dödö  kedua belah pihak telah setuju dan menyepakati serta sanggup melaksanakannya. Kegagalan untuk sampai melangsungkan ketahap pernikahan ada berbagai macam faktor misalnya karena orang ketiga atau seiring berjalannya waktu kedua belah pihak baru mengenal karakter asli tunangan dan keluarganya. Bilamana seseorang sudah menyatakan kesanggupannya maka ia tidak boleh mundur lagi, karena bila mundur maka itu merupakan aib keluarga. Oleh karena itu biasanya saudara-saudara yang lain (ononakhi) ikut meringankan beban keluarga kerabatnya tersebut.

Seorang yang telah menyanggupi jujuran namun pada kenyataannya ia tidak mampu akhirnya ia meminjam uang atau emas kepada orang lain. Bila pada akhirnya si pengutang tidak mampu melunasi hutangnya, akhirnya menjadi sengketa hutang piutang dan bila ini menjadi persengketaan maka si’ulu (bangsawan) membayar hutang orang tersebut dengan konsekuensi ia menjadi budak siulu tersebut. Inilah cikal bakal kelompok kasta budak (sawuyu) di Nias  selain karena menjadi tawanan atau dibebaskan dari hukuman mati.

Di kalangan para budak ini, karena telah kehilangan kemerdekaannya maka mereka menjadi hamba kepada bangsawan yang telah membayar hutangnya sampai seumur hidupnya dan turun temurun. Hidupnya tergantung dari belas kasih tuannya. Hak untuk menikah ditentukan oleh tuannya dan biasanya disinilah muncul pernikah masal. Tuannya menikahkan para budak-budaknya sesuai dengan kehendaknya. Perkawinan para budak terjadi dengan seizin pemilik, yang menikahkan gadis-gadis itu dengan anak-anak lelaki di antara mereka (Schröder  1917). Pada model pernikahan ini tidak ada jujuran, tidak ada seremoni famaoso noro, bila tuannya mengatakan hari ini, detik ini kamu menikah maka kamu menikah.

Di Bawömataluo, ketika hari pernikahan tiba sang ibu pemuda pergi bersama kerabat dan gadis lain untuk menjemput pengantin wanita, sementara orang-orang ini dalam perjalanan, calon mempelai laki-laki membawa potongan-potongan kecil emas yang dibungkus kain merah yang disebut anaa famalali noso kemudian diletakkan di pintu gerbang (bawag'öli), sebagai persembahan kepada Lowalani, agar memperoleh berkat kepada si pembawa.  Di jaman sekarang setelah orang Nias mengenal agama, calon pengantin dibawa ke gereja untuk diberkati oleh Pastor atau Pendeta bagi yang beragama Katolik dan Protestan atau dibawa kepada penghulu bagi yang beragama Islam. Momen ini sifatnya personal tidak boleh dicampur baurkan (faruka oyo).

Ketika para kerabat tiba bersama pengantin wanita, sang suami menunggunya di depan rumah, di mana pada saat kedatangan dia meraih pergelangan tangannya istrinya dan berkata : yafalili gae tawö, ndraonogu artinya anak-anakku akan sehat dan gemuk seperti gae tawö dan selanjutnya mulai sekarang kamu adalah istriku, Schröder, 1917.



Nikah Masal

Program dakwah Ustad Abdul Muni’m yang ingin mengadakan “nikah masal’’ di Nias Selatan  yang menurutnya sebagai bentuk kepedulian untuk memanusiakan, sejujurnya nikah masal ini dalam prespektif orang Nias adalah pernikahan yang lazim dilaksanakan pada kelompok strata sosial sawuyu (budak).

Seabad sudah orang Nias membuang model pernikahan ini, kini ustad Abdul Muni’m dengan semangat ingin memungut kembali model pernikahan masal ini sebagai program andalan dakwahnya. Bila orang Nias sudah membuang model pernikahan ini karena lebih besar mudaratnya sebagai stereotipe negatif, mengapa ustad Abdul Muni’m malah memungutnya kembali dan ingin menerapkan di Nias Selatan dengan alasan ingin mengangkat martabat yang belum menikah. Bukankah itu sebagai pelecehan kemanusiaan bagi mereka yang belum menikah karena membangkitkan kembali memori kolektif masa lalu.

Teringat celoteh Cak Lontong Mikiiiiiiiirrrrrrrrrrr”.

 

Daftar Pustaka

1. Brenner-Felsach, J.F.  von 1890 “Reise Durch die Unabhängigen Battak-Lande und auf der Insel Nias,” Mittheilungen der Kaiserlichen und Königlichen Geographischen Gesellschaft in Wien.

2.  Biege, J. N, 1918 De Zendingsklok een verhaal uit den zendingsarbeid op Nias, Zendingsbureau

3. Schröder, E.E.W, 1917, Nias, Ethnographische, Geographische en Historische Aanteekeningen en Studien, E. J. Brill, Leiden.

4.  Laia, Bamböwö, 1983, Solidaritas Kekeluargaan Dalam Salah Satu Masyarakat Desa Di Nias – Indonesia,                 Gajah Mada University Press.




Komentar

  1. Menambah wawasan lagi ini brooo

    BalasHapus
  2. Terimakasih Pak!

    Menambah wawasan saya tentang pernikahan adat Nias 😊

    BalasHapus
  3. Terima Kasih. semoga terus memberikan informasi yang belum tersampaikan kedapa kita masyarakat Nias pada umumnya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Raja Bermata Satu Si “De Verdrijver der Hollanders” dan Meriam Perjuangan Orahili

Bawömataluo, “Negeri Sejuta Nama dan Makna”

TOLÕGU DI ALAM PEMIKIRAN NIHA RAYA