MERIAM LA’I-LA’I DI TANAH PARA PENDEKAR

 

MERIAM LA’I-LA’I DI TANAH PARA PENDEKAR

Oleh : Marselino Fau

Pengantar

Di Bawõmataluo ada sebuah meriam yang ditempatkan di sisi sebelah kiri bangunan Osali ndra Ama atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bale. Meriam ini bukanlah peninggalan apalagi sebagai hadiah atau pemberian dari Belanda, tetapi sebagai supremasi perjuangan Orahili menghadapi penjajah Belanda pada masa Raja Laowõ. Tentu saja meriam ini dibayar mahal dengan darah oleh para pejuang demi mempertahankan tanah leluhurnya. Meriam ini ditempatkan disini sebagai monumen peringatan atas perlawanan Orahili menentang Belanda. Menjadi sebuah keniscayaan bahwa di Tanah Para Pendekar (istilah Vanni Puccioni, 2016) legenda ”Sanabo Hoelandro” (Bieger, 1917) ditakuti oleh lawan disegani oleh kawan.
Penulis dengan latarbelakang meriam yang disita Raja Laowõ pada tanggal 17 Februari 1861

Sekalipun Belanda mengancam akan menghukum Orahili jika tidak mengembalikan meriam sitaannya, Raja Orahili tidak bergeming sedikitpun meski harus bertaruh nyawa demi mempertahankan kehormatan negerinya bahkan sebaliknya meriam ini menjadi simbol pesakitan di pengadilan inabsentia di ruang pengadilan Bawõmataluo. (Baca juga artikel Mengenang Raja Bermata Satu Si De Verdrijver der Hollanders dan Meriam Perjuangan Orahili).

Sekilas Situasi Pasca Pertempuran 1856 di Orahili

Kegagalan Belanda pada ekspedisi tahun 1856  di bawah Kapten de Vos melawan Orahili membuat Gubernur Jenderal Sumatera Barat mengajukan proposal menghukum Orahili untuk mempercepat pelaksanaan rencana penguasaan Nias sepenuhnya. Karena dikhawatirkan jika Orahili berhasil membangun aliansi dengan tetangganya maka akan menyulitkan pendirian pos di Pantai Selatan. Oleh karena itu tiga bulan kemudian, satu ekspedisi di bawah komandan Mayor J. H. Crena dan Kapten H. P.de Vos sebagai Letnan Gubernur di Gunung Sitoli yang dibantu oleh Letnan satu A. W. Heijligers, Letnan dua P. P. M. van Aldewerehl dan Letnan dua E. F. de Ravallet kembali dikirim ke Nias Selatan untuk memerangi Orahili.

Pada tanggal 10 Maret, armada berlabuh di Lagundri. Ketika mereka tiba di Lagundri, Mayor Crena memerintahkan agar menembakkan meriam di puncak gunung tertinggi di sekelilingnya. Tiba-tiba dentuman meriam memecah keheningan. Itu adalah tanda yang disepakati dengan raja sekutunya untuk pergi ke pantai. Tidak lama kemudian, para utusan sekutunya muncul dan memberi laporan mengenai situasi politik Nias Selatan sebagai berikut :Raja-raja dari enam kampung telah membangun satu aliansi pertahanan, mereka menegaskan bahwa mereka saling mendukung satu sama lain dengan sekuat tenaga. Aliansi ini akan menyulitkan Belanda dan akan mencegah mereka menetap di Lagundri. Mereka yang bergabung dalam aliansi ini adalah Orahili, Botohõsi, Hilizoayambõwõ, Lahusa, Hilizihõnõ dan Hilizombõi (van Rees, 1866, hlm 19)”.

Pada tanggal 12 Maret jam 6 pagi, pasukan ekspedisi sudah berada di pantai untuk membangun benteng. Mayor Crena dengan pasukannya dan dibantu oleh kuli-kuli yang dikirim oleh sekutunya, mereka mulai menggali tanah dan menebang pohon-pohon. Material benteng juga disuplai oleh sekutunya, dan dalam waktu selama 12 hari mereka selesai mendirikan benteng di Lagundri. Kemudian Mayor Crena kembali ke Sibolga.

Letnan Heijligers ditunjuk untuk mengambil alih komando di Lagundri.  Ia dianggap memenuhi semua syarat. Untuk melemahkan kekuatan Orahili, Heijligers menggunakan politik devide et impera dengan taktik mengisolir Orahili. Ia membangun hubungan yang baik dengan raja-raja tetangga Orahili termasuk anggota aliansi Orahili, sebaliknya Orahili dikucilkan. Ia tidak mengirim tentaranya untuk memantau Orahili seolah-olah Orahili tidak penting baginya, seakan Orahili tidak diperhitungkan oleh Pemerintah Belanda. Padahal, ia begitu marah melihat kenyataan ketika pada tahun 1857 dimana-mana ia disambut dengan ramah oleh raja-raja tetangga Orahili, kecuali Raja Orahili “melepehnya” dari balik jara-jara istananya. Pertanyaannya apakah taktik Heijligers ini berhasil?

Objek Sengketa dan Pertaruhan Harga Diri Negeri

Bagaimanapun, alam membawanya pada dirinya sendiri untuk mengakhiri keadaan ini. Demikian Modigliani menggambarkan peristiwa yang terjadi pada pertengahan bulan Februari 1861 di Lagundri. Dalam bahasa kekinian dengan kata lain karenaKehendak Semesta”. Letnan Heijligers belum sempat mempermalukan Raja Orahili, alam berkehendak lain.

Tepatnya pada tanggal 16 Februari 1861 pukul 6 sore gempa terjadi selama 3 menit diikuti dengan gempa susulan selama kurang lebih 15 menit, telah menghancurkan benteng Belanda di Lagundri. Air laut naik setinggi 7 depa. Keesokan harinya prajurit Orahili datang ke benteng Belanda di Lagundri dan menyita semua senjata milik Belanda disana, diantaranya satu artileri, dua meriam dan puluhan senjata serta amunisi dan sebuah kapal. Tentara Belanda yang selamat mengungsi dan menyelamatkan diri ke Hilizo’ayambõwõ (Hilibobo).

Ketika Laowõ, Raja Orahili (sebutan lokal “Balõ Zi’ulu” dalam folklor disebut Rajo Zi’ulu) mendengar bahwa tentara Belanda berlindung ke Hilizo’ayambõwõ, ia sangat marah. Laowõ memberikan ultimatum kepada raja Hilizo’ayambõwõ sebagai berikut: “Jika orang-orang Belanda bertahan lama di Hilizo’ayambõwõ, maka si’ulu Hilizo’ayambõwõ dianggap sebagai musuh dan pengkhianat” dikutip dari buku Sejarah Perjuangan Rakyat Nias, 1989 hlm. 23.  Oleh van Rees mengatakan bahwa ketika Raja Orahili mendengar Belanda mengungsi ke Hilizo’ayambõwõ, ia memberitahu kepala Hilibobo (Hilizo’ayambõwõ) bahwa ia akan memperlakukan dia sebagai musuh jika Belanda tinggal lebih lama di kampungnya (van Rees, 1866, hlm 46). Hal senada disampaikan Modigliani bahwa pemimpin Orahili itu mengatakan: “Hilizo’ayambõwõ dianggap sebagai musuhnya jika Belanda tetap disana” (Modigliani 1890, hlm. 61).

Laowõ, Raja Orahili fotografer Joachim von Brenner, Juni 1887

Lukisan Raja Hilizo’ayambõwõ, van Rees, 1866


Mendapatkan ultimatum dari Raja Orahili, Raja Hilizo’ayambõwõ mulai gusar. Menurut van Rees, Begitu besarnya ketakutan orang-orang Hilizo’ayambowo kepada Orahili, sehingga tidak bisa disembunyikan lagi kegembiraan mereka ketika tentara Belanda mulai meninggalkan Hilizo’ayambõwõ menuju pantai.

Dua hari kemudian, pada tanggal 18 Februari Pemerintah Belanda mengirim satu kapal perang dengan jumlah pasukan satu detasemen dibawah Kapten Infantri K. W. J van Heemskerk untuk mengumpulkan senjata yang tertinggal di benteng. Upaya itu sia-sia, melihat musuh yang sangat banyak, dengan pedang yang terhunus membuat pasukan Belanda ketakutan kemudian kembali dengan tangan kosong. Raja Orahili mengabadikan peristiwa penyitaan artileri dan meriam ini dalam satu diorama di dinding istananya di Orahili.

Lukisan istana Raja Laowõ di Orahili, sumber foto Prof. Jerome A. Feldman

Dalam pernyataannya ketika ia menyerahkan sebuah lukisan istana Raja Orahili kepada Museum Entongrafi Nasional Belanda yang dipublikasikan pada tanggal 9 Mei 1871, Letnan Grey yang sedang cuti saat itu mengatakan bahwa di dinding bagian dalam kediaman raja ada sebuah ukiran patung kayu dengan beberapa orang Nias yang membawa meriam. Ukiran itu sebagai kenangan tentang pengangkutan senjata dari benteng. Demikian berkesannya meriam itu bagi Raja Orahili dan rakyatnya sebaliknya bagi Belanda merupakan sumber angkara murka yang semakin menegaskan bahwa untuk kesekian kalinya Raja Orahili mempermalukan mereka.

Raja Orahili begitu bangga dengan kemenangannya pada pertempuran di tahun 1856, ditambah dengan kepemilikan senjata-senjata sitaan itu, yaitu artileri, meriam dan puluhan senjata serta amunisi. Hal itu membuat Raja Orahili semakin berani dan percaya diri. Van Rees mengatakan Raja Orahili itu digelari De Verdrijver der Hollanders artinya Pengusir Belanda (van Rees, 1866, hlm 47).

Bagi Belanda tindakan Raja Orahili ini menambah deretan penghinaan yang ditujukan kepada Pemerintah Belanda. Fritzen yang menjadi perwakilan Raja Belanda mengirim utusan kepada Raja Orahili. Belanda memberikan ultimatum kepada Raja Orahili untuk mengembalikan senjata-senjata tersebut dan segera meminta maaf.

Raja Orahili menjawab dengan halus sebagai berikut : “Kemalangan akan menimpa kami jika kami menyerahkan senjata-senjata itu oleh karena itu lebih mudah bagi Belanda untuk pergi dan mengambilnya sendiri” (Modigliani, 1890 hlm 61).  Van Rees menambahkan bahwa tantangan Raja Orahili ini dengan kata lain berarti “Jika Belanda merasa cukup kuat untuk menyerang Orahili, Orahili siap menerima mereka.” Sikap Raja Orahili ini dianggap sebagai penghinaan yang keterlaluan kepada Pemerintah Belanda. Menurut Modigliani, tantangan yang terkandung dalam jawaban raja ini, sangat jelas, tetapi tidak mungkin untuk saat ini memerangi Orahili. Apalagi pada perang tahun 1856, Orahili sangat dominan mempercundangi Belanda yang dibuat putus asa hingga kabur melarikan diri.

Tantangan ini bukanlah isapan jempol semata, sekalipun pada akhirnya Orahili dibumihanguskan oleh Belanda pada tahun 1863, semata-mata itu bukan karena lemahnya Orahili tetapi karena sekutu Belanda memberikan akses untuk menyerang Orahili lewat wilayahnya sebagaimana ditulis oleh van Rees berikut ini. Mayor Fritzen komandan ekspedisi kami berbicara dengan raja sekutu kami sampai larut malam tentang jalan yang harus dilalui ke Orahili. Awalnya Fritzen sangat sulit membuat raja ini memberikan informasi yang benar karena takut kepada Orahili. Lidahnya menjadi kaku saking takutnya kepada Orahili. Akhirnya jam satu tengah malam barulah raja itu bisa dibujuk oleh Fritzen dan ia memberitahukan bahwa dari bivak ke Orahili dapat dicapai lewat jalan setapak. Jalan itu tertutup alang-alang karena Orahili sudah lama tidak menggunakannya (van Rees, 1866, hlm. 66).

Pada tanggal 1 Juni 1863 setelah menempuh perjalanan dua jam dari bivak ke Orahili, Mayor Fritzen sangat diuntungkan dengan menemukan dataran tinggi yang pas yang dapat digunakan untuk menghancurkan Orahili seperti yang diinformasikan sebelumnya oleh raja sekutunya. Setelah menghadapi pertempuran sengit dari para pejuang yang bersenjata minim selama hampir lebih dua setengah jam akhirnya Orahili berhasil dikuasai. Para pejuang Orahili berusaha untuk menahan serangan musuh yang tidak diduga itu, tetapi sia-sia.  Orahili sangat tangguh, mereka bertempur dengan gagah berani (Jurnal Ekonomi Politik dan Statistik, 1865  hlm. 232).

Puncaknya pada tanggal 12 Juni 1863, Orahili dibumihanguskan oleh Belanda setelah gagal mengekstradisi Raja Orahili. Pembumihangusan Orahili meninggalkan kesan yang mendalam.  Koran Provinciale Overijsselsche en Zwolssche terbitan Senin, 31 Agustus 1863 melaporkan sebagai berikut : “Ketika orang menganggap bahwa benteng Orahili tidak dapat direbut sampai pada serangan keempat. Kampung itu sangat terkenal di Nias dan di Pantai Sumatra karena kekuatannya. Kejatuhan Orahili yang sangat ditakuti dalam pertempuran yang singkat dan sengit, telah meninggalkan kesan yang mendalam.”

Keberhasilan Belanda membakar Orahili, Hilizo’ayambõwõ, Botohõsi dan Lõlõwa’u tidak serta merta membuat Belanda merasa tenang dan nyaman untuk tinggal di Nias Selatan. Sebaliknya mereka takut dan cepat-cepat meninggalkan Nias Selatan, mereka tidak bertahan lama disana. Belanda mengakui bahwa Orahili sangat ditakuti.

Mengutip satu pengalaman misionaris Left yang penah diterbitkan pada tahun 1901, yang kemudian diterbitkan kembali pada satu majalah mingguan pada Sabtu, 12 Juni 1926 dikatakan sebagai berikut : “Pada tahun 1863 sebuah kampung berbenteng bernama Orahili tiga kali berhasil menggagalkan ekspedisi Belanda, baru pada serangan keempat, benteng itu bisa direbut. Lalu bagaimana nasib Orahili pasca dibakar?

Orahili Bermetamorfosa

Istana Raja Laowõ di Bawõmataluo (Orahili Lama), fotografer Joachim von Brenner

Sumber foto Prof. Jerome A. Feldman

Pasca Orahili dibakar, Raja Orahili kembali membangun satu pemukiman yang baru. Mereka berbenah dan membangun pemukiman dan benteng di atas bukit di ketinggian 400 meter. Raja memperkuat dirinya sedemikian rupa sehingga menurut raja, Kompeni tidak akan bisa masuk. Fritzen mengakui bahwa sekarangpun Orahili tidak mudah ditaklukan. Orahili bermetamorfosa menjadi satu kekuatan yang lebih menakutkan.

Ketika Orahili selesai membangun kekuatannya (ma’abe ba gahe nia danõ) kembali melakukan perlawanan kepada Belanda. Otoritas Belanda melaporkan pada Sabtu, 21 Mei 1870 sebagai berikut :

Beberapa bulan yang lalu, beberapa orang utusan raja sekutu kami melapor kepada Administrasi Sipil di Gunung Sitoli, Raja Orahili mengumumkan dan menyatakan perang terhadap kampung kami. Para utusan itu, atas nama raja mereka, meminta perlindungan dari Pemerintah Belanda.” Otoritas Belanda menjawab : “Dengan hak dan dalih apa kalian membuat permintaan ini, kita akan lihat nanti.

Tujuh tahun setelah Orahili dibumihanguskan situasi di Selatan kembali memanas. Otoritas Belanda melaporkan Orahili berhasil mengepung sekutunya dan menghukum mereka disana. Orahili memperoleh kemenangan ganda satu kemenangan terhadap sekutunya Belanda dan satu kemenangan terhadap otoritas Pemerintahan Belanda.

Orahili tidak berhenti sampai disitu, sebuah pertarungan harga diri kembali terjadi. Pada tahun 1873 Controleur datang ke Bawõmataluo (masih bernama Orahili saat itu) untuk mempertanyakan hal tersebut di atas. Ia mengirim utusan dan penerjemah untuk memberitahukan Raja Orahili agar turun dari istananya menemui perwakilan pemerintah Hindia Belanda di kaki bukit. Utusan itu mengatakan: “Dengan tenang Raja Orahili menjawab jika tuan pengawas ingin berbicara dengan raja bisa dilakukan di istananya di puncak bukit. Tuan pengawas lebih baik ‘memanjat’ (lau gehomo) jika ingin berbicara dengan raja.” Sekali lagi bagi Belanda jawaban Raja Orahili ini dianggap sebagai penghinaan yang keterlaluan kepada otoritas.

Sejak saat itu Pemerintah Belanda mulai menarik diri dari Nias Selatan sampai 1908. Terutama ketika Pemerintah tidak terlalu peduli tentang Nias Selatan setelah tahun 1872. Baru pada tahun 1908 penetapan kursi dewan di Nias Selatan dimunculkan kembali. Ada 10 alasan mengapa Belanda tidak memberikan perhatian di Nias Selatan antara lain sbb :

1. Lagundri telah membuktikan bahwa satu jabatan dengan sedikit pejabat tidak cukup untuk menghasilkan efek yang berarti; wilayah itu terlalu luas.

2. Jika penggabungan bagian pulau itu terjadi, harus dipusatkan ke kampung sekutunya; tetapi karena kampung itu sekarang lemah, tampaknya tidak mungkin akan mampu bertahan dari tetangganya yang lebih kuat kecuali jika Pemerintah memutuskan untuk membangun lebih banyak benteng disana.

3. Masalah tak berakhir, intervensi bersenjata yang terus berulang, pemborosan uang tanpa tujuan, tetapi disisi lain materi dan moral Belanda yang lebih besar, meskipun mungkin tidak signifikan, tetap ingin dipertahankan oleh Pemerintah.

Respon Otoritas Belanda atas laporan sekutunya “……., kita akan lihat nanti” atau dalam bahasa Niasnya tafaigi dania membuktikan bahwa Belanda lebih mementingkan apa keuntungnya bagi mereka jika membela sekutunya. Sehingga Belanda tidak terlalu ngotot untuk menguasai Nias Selatan karena alasan-alasan tersebut di atas apalagi menghadapi Orahili yang semakin sulit ditaklukkan sebagaimana yang telah diakui oleh Fritzen.

Lalu bagaimana nasib artileri, meriam dan senjata-senjata yang telah disita oleh Orahili. Artileri yang ditempatkan di depan istana raja sebagai monumen, tidak sempat dibawa oleh para pejuang pada pertempuran 1863, kecuali dua meriam dan senjata-senjata sitaan lainnya. Ketika tentara Belanda mendapati artilerinya di depan istana raja, kemudian artileri itu diangkut dan dikirim kembali ke Padang. Apakah Belanda berhenti untuk mengejar meriamnya yang disita oleh Orahili? Bagi Belanda itu tetap menjadi pertaruhan harga diri bangsanya. Sampai perang Hiligeho tahun 1908 Belanda masih terus mengejar meriamnya tetapi sia-sia.

Aspotmar KSAL, Mayor Jenderal TNI (Mar) Nur Alamsyah, SE., M.M., M.Tr. (Han) sedang memeriksa meriam la’i-la’i di Bawõmataluo, 27 September 2022. Fotografer Kanisius Wau

Bagi Orahili (Bawõmataluo) meriam itu adalah simbol laia (ayam jantan). Sebagaimana dalam budaya Nias, laia menjadi simbol kejantanan (simatua). Dari kata laia lahir julukan la’i-la’i yang berarti orang yang sangat kuat yang biasa disematkan kepada samu’i (jawara). Sehingga bila diperhatikan diorama yang ada di Bawõmataluo terlihat seekor ayam jantan yang bertengger di atas meriam, mau memberi pesan betapa ola’i-la’i (hebat) mereka merebut dan mempertahankannya sehingga bila di depan bale meriam itu berdiri kokoh sampai hari ini, itu karena kegigihan mereka mempertahankan kehormatan tanah leluhurnya yaitu “Tanah Para Pendekar”. Misionaris Left mengatakan orang-orang di Nias Selatan tanpa ragu memilih kematian daripada rasa malu. Kematian lebih baik dari perbudakan!” Dengan kata lain lebih baik mati dari pada mengkhianati tanah leluhurnya dan menyerahkannya kepada penjajah.

Foto diorama terlihat seekor ayam jantan yang bertengger di atas meriam

Penutup

Meriam la’i-la’i di “Tanah Para Pendekar” merupakan peninggalan terindah dari para Pahlawan Orahili untuk generasinya. Kehadiran meriam la’i-la’i ini, merupakan reflektor jiwa heroik para leluhur kita, disini terpatri semangat kepahlawanan. Adalah sebuah kebanggaan bagi kita bahwa kita lahir dan tumbuh di Tanah Para Pendekar yang gigih mengusir penjajah. Semoga semangat kepahlawanan leluhur mengispirasi kita untuk menjaga dan merawat negeri tercinta Indonesia.





Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Raja Bermata Satu Si “De Verdrijver der Hollanders” dan Meriam Perjuangan Orahili

Bawömataluo, “Negeri Sejuta Nama dan Makna”

TOLÕGU DI ALAM PEMIKIRAN NIHA RAYA