Membaca Sejarah Pada Batu Di Bawõmataluo
Membaca Sejarah Pada Batu Di Bawõmataluo
Oleh : Marselino Fau
Bawõmataluo sebuah banua
yang sangat terkenal dengan budaya megalitnya. Pada tahun 1936 sejumlah wisatawan berkunjung ke Bawõmataluo. Disana mereka mendapatkan
pengalaman yang sungguh menakjubkan. Apa yang mereka alami saat itu kemudian dipublikasikan pada satu artikel
terbitan Juni 1936. Pada artikel ini ditulis bahwa Bawõmataluo merupakan pusat kebanggaan Nias
Selatan. Bawõmataluo adalah “tempat matahari terlihat terbit sampai terbenam”.
Secara rinci dideskripsikan jalan dari Orahili ke Bawõmataluo tidak panjang, tatapi
terjal. Jalan batunya menanjak, anak tangga yang menjadi akses ke Bawõmataluo dibagi
dalam empat bagian, yang pertama ada 200 anak tangga, kemudian 225, lalu 200 dan yang terakhir ada 77 anak tangga.
Sesampai di atas di hadapan mereka terbentang alun-alun batu Bawõmataluo yang luas (Koran Batavia, 1936).
Anak tangga menuju Bawõmataluo. Foto Pastor Johannes M. Hammerle |
Di Bawõmataluo terdapat batu-batu besar, salah
satunya didedikasikan untuk penghormatan “Saõnigeho”, pemimpin Bawõmataluo
yang perkasa. Untuk menarik batu yang beratnya ribuan kilogram ini ke
alun-alun digunakan tali dari rotan dan gelondongan kayu, dengan ratusan orang menarik batu raksasa itu. Selain itu, kami melihat di
sebelah kiri dan kanan saat kami berjalan mengelilingi alun-alun banyak hiasan batu, bahkan
di trotoar, di mana kita menemukan batu dengan ukiran sederhana, beberapa
ornamen berupa kaki. Di
pekarangan rumah-rumah terdapat batu berukir yang indah sebagai tempat duduk (Algemeen Handelsblad, 1938).
Batu yang posisinya diletakkan secara horizontal disebut darodaro dan batu yang vertikal disebut batu fa’ulu.
Tetapi ada juga batu yang unik berbentuk lingkaran dengan permukaan yang datar dan
berkaki empat yang disebut darodaro
nikholo. Meskipun darodaro nikholo memiliki kaki empat
seperti meja tetapi tetap disebut darodaro
(tempat duduk) karena pada awalnya orang Nias tidak menggunakan meja dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga istilah meja tidak digunakan untuk penyebutan batu ini.
Selain itu ada dua buah batu yang unik berbentuk slinder satu yang besar
dan satu yang kecil. Kedua batu ini menjadi sajian utama yang dihadirkan kepada para Pencinta Bawõmataluo
lewat artikel “Membaca Sejarah Pada Batu Di Bawõmataluo”.
Sanau Bõlõkha
Zikhazatarõ, balo zi'ulu Orahili berdiri disamping darodaro balo zi'ulu. Sumber foto Tropenmuseum |
Pertanyaanya siapa sosok “sanau bõlõkha” ini? Kepercayaan orang Nias meyakini sanau bõlõkha adalah sosok yang tidak terlihat tetapi tangannya bisa menjangkau siapa pun. Dengan kata lain ia adalah sosok yang tak kelihatan tetapi mampu memberi rasa keadilan bagi orang yang dirampas hak-haknya, ia bisa membalas kelaliman orang yang bertindak tidak adil. Ia diyakini mengadili perkara secara bijaksana, ia adalah hakim yang bijaksana. Konsep hakim yang bijaksana ini dituangkan dalam budaya megalit di Bawõmataluo dan Orahili. Dari foto di atas kita melihat foto darodaro di Orahili dengan hiasan motif tangan, maka dari sini kita mengerti mengapa simbol tangan diukir pada darodaro tersebut maksudnya untuk menunjukkan representasi “sanau bõlõkha”. Jadi batu ini sebuah simbol dimana erat kaitannya dengan konsep pengadilan atau persidangan ketika hendak membuat satu keputusan.
Darodaro Balõ Zi’ulu
Batu
yang sama juga kita temukan di Bawõmataluo tetapi tidak dihiasi motif tangan. Berbeda dengan yang di Orahili. Bila dicermati, batu di Bawõmataluo secara umum bentuknya seperti slinder yang terdiri dari dua bagian. Pertama adalah batu
penyanggah dan yang kedua adalah batu penutup (lagõlagõ),
bentuknya lingkaran dengan permukaan datar yang terbuat dari batu itõ.
Pada kedua bagian inilah, terkandung makna yang
ingin disampaikan.
Darodaro balõ zi’ulu di alun-alun Bawõmataluo sekitar
1930. |
Batu penyanggah diberi garis pemisah sehingga secara keseluruhan batu ini terbagi dalam tiga bagian. Bagian pertama (1) dari bawah itu melambangkan sato (masyarakat banyak), bagian kedua (2) melambangkan si’ila (orang bijak) dan bagian yang ketiga (3) melambangkan si’ulu (bangsawan). Bagian ketiga masih terbagi dua yaitu ada batu penutup (lagõlagõ). Batu penutup ini melambangkan balõ zi’ulu (bangsawan utama). Jadi bila diperhatikan batu ini seperti sebuah wadah yang menggunakan penutup.
Nitou'õ, balõ zi’ulu Bawõmataluo berdiri disamping darodaro, sekitar 1920. |
Oleh karena itu, baik darodaro yang ada di Bawõmataluo maupun yang ada di Orahili memiliki fungsi yang sama yaitu menjadi simbol pengadilan yang bijaksana. Tropenmuseum memberi keterangan foto ini dengan keterangan 'meja batu tempat peradilan ditegakkan'. Hal ini sejalan dengan penjelasan Ariston Manaõ dimana batu ini disebut juga darodaro fanaetu yang berarti batu keputusan.
Hal penting yang harus diperhatikan, pada batu ini ada lubang tempat menancapkan tombak, fungsinya ketika persidangan (orahu) membahas tentang peperangan, maka balõ zi’ulu akan menancapkan tombaknya disini. Di bawahnya ada tatakan ujung tombak percis di bagian para si’ila, ini sebagai simbol bahwa keputusan berperang telah didukung oleh para si’ila. Bila persidangan mengambil keputusan berperang maka balõ zi’ulu mengambil tombaknya dan melempar ke tengah pekarangan sebagai tanda bahwa mereka akan berperang sebagaimana yang dilakukan Laowõ pada tanggal 2 Januari 1856 ketika orahua memutuskan Orahili akan melawan Belanda (Wolfgang, 1967).
Tetapi apabila hanya perisai balõ zi’ulu yang ditancapkan di lubang batu ini, pesan yang hendak disampaikan adalah bahwa balõ zi’ulu memerintahkan prajuritnya untuk berlatih perang. Itulah mengapa awal mulanya batu ini berada di tengah-tengah agar semua prajurit dapat melihat dari rumahnya apakah di batu itu telah ditancapkan perisai atau tombak.
Darodaro balõ zi'ulu masih berada di tengah ewali sawolo, sekitar 1914. Sumber foto Tropenmusem |
Jadi selain fungsinya sebagai batu pengadilan, lokasi batu ini dijadikan
titik poin untuk berkumpul dan berlatih menombak dan membela diri. Para
prajurit berlatih disini dimana seorang samui
diserang dari berbagai arah oleh lawannya yang menggunakan tombak tugala (sejenis tanaman honje). Si prajurit mencoba bertahan dan menangkis
dengan perisainya. Tujuannya melatih
ketangkasan para prajurit untuk bertahan dan menyerang.
Darodaro Tuhenõri
Lalu apa bedanya dengan batu yang satu ini? Batu ini berdiri di depan rumah balõ zi’ulu Nitou’õ ukurannya lebih
kecil dari yang di atas. Karena batu ini merupakan properti personal maka
letaknya di depan rumah pribadi, ini sebagai kamuflase agar pesannya tidak diketahui oleh otoritas Belanda. Konsepnya sama dibagi dalam tiga bagian. Bedanya
hanya pada bagian penutupnya dan tidak dibagi dalam dua bagian.
Darodaro Tuhenõri, sekitar 1925. Sumber foto Tropenmuseum |
Ketika Belanda menguasai Nias
Selatan setelah perang Hiligeho 1908, maka Belanda melakukan
pembaruan pemerintahan di Nias
Selatan. Pemerintah kolonial merombak sistem pemerintahan banua
yang berpengaruh pada berkurangnya pengaruh balõ
zi’ulu. Di Nias Selatan, Belanda merubah
konsep kepemimpinan dalam satu banua menjadi
konsep õri seperti yang ada di Nias Utara, Timur dan Barat. Belanda membagi
wilayah Nias Selatan dalam õri. A. Visser (Kontrolir) mengatakan bahwa di Nias
Utara dan Timur konsep õri sangat
sederhana sedangkan di Nias Barat susunan õri
lebih rumit. Di ujung Selatan keadaanya lain merupakan negeri (banua) dan kota, kepalanya tidak disebut
tuhenori tetapi si’ulu. (Van der Wal, 2001).
Konsekuensinya dengan
pemberlakuan konsep õri beberapa banua bergabung dalam satu õri yang
dipimpin oleh seorang yang disebut tuhenõri.
Dalam kesatuan õri, balõ zi’ulu tidak
memiliki kuasa mutlak lagi misalnya untuk menyatakan perang atau untuk membuat
hukum adat. Ia harus berunding dengan para si’ulu
dari berbagai banua. Ketika aturan
ini mulai diberlakukan di Bawõmataluo,
balõ zi’ulu saat itu adalah Nitou’õ. Beliau
menjadi tuhenõri Bawõmataluo setelah
dipilih dengan suara terbanyak sebagaimana yang disebutkan dalam surat keputusan No 5 yang dikeluarkan oleh Assisten
Residen Nias pada tanggal 12 Agustus 1919 di Gunung Sitoli. Bagi Nitou’õ ini
ibarat buah simalakama, diterima merongrong entitas budayanya menolak berarti
membiarkan orang lain menguasi negrinya yang menghancurkan marwah banua.
Penulis berdiri di atas darodaro tuhenori, Foto 1983 |
Pada batu ini tombak tidak lagi bisa ditancapkan, hanya perisai yang boleh ditancapkan disini. Ukurannya yang lebih kecil menyimbolkan bahwa jabatan tuhenõri ciptaan Belanda tidak lebih tinggi dari balõ zi’ulu yang lahir dari budaya setempat. Hal ini dibuat agar rakyat Bawõmataluo tidak kehilangan kepercayaan diri. Pemindahan darodaro balõ zi’ulu dari tengah ke pinggir sebagai salah satu upaya untuk menghilangkan pengaruh balõ zi’ulu kepada rakyatnya dijawab oleh Nitou’õ dengan mendirikan batu yang lebih kecil. Usaha ini untuk meyakinkan warga Bawõmataluo agar tidak kehilangan marwahnya dan hendak menunjukkan bahwa pemimpin mereka masih ada di lokasi dimana batu ini didirikan. Mereka masih memiliki sosok pemimpin yang akan memimpin mereka.
Selain itu, tuhenõri Nitou’õ memberikan pesan lewat perbedaaan yang sangat mendasar yang tampak pada bentuk penutupnya. Pada darodaro balõ zi’ulu penutupnya menyatu dengan penyanggahnya, itu berarti balõ zi’ulu merupakan satu kesatuan dengan sato dan si’ila beserta si’ulu yang lainnya. Sedangkan pada darodaro tuhenori terjadi permisahan antara si’ulu dengan si’ila dan sato. Itu artinya konsep tuhenori sengaja diciptakan untuk mengasingkan pemimpinya dari rakyatnya. Kedua batu ini masih tetap berdiri dan telah ‘menuliskan sejarah’ agar para Pencinta Bawõmataluo kelak bisa ‘membaca’ sejarah dibaliknya.
Kala kutulis kisah ini teringat foto masa kecilku didudukkan di atas batu ini dengan kepolosan dan penuh kenangan, tetapi ketika berdiri di atasnya membuatku sadar ini bukan batu biasa tetapi batu yang bercerita "sebuah kisah diplomasi perjuangan tanpa kehilangan marwah".
Salam Lestari
Komentar
Posting Komentar