Hombo Batu dan Kalabubu di Bawömataluo
Hombo Batu dan Kalabubu di Bawömataluo
Oleh :
Marselino Fau
Pengantar
Penulis |
Pada kesempatan kali ini saya ingin membawa para pembaca untuk melompat lebih tinggi dan untuk menemukan makna hombo batu bagi pemuda-pemuda Nias dalam kasus ini saya secara spesifik saya menggunakan Bawömataluo sebagai referensi utama karena beberapa alasan sebagai berikut :
1. Penulis berasal dari Bawömataluo yang sejak kecil menikmati permainan dan latihan hombo batu.
2. Informan penulis adalah ayah sendiri sebagai pelompat batu dan abangnya sebagai panglima tarian perang Bawömataluo.
Batu Dalam Kehidupan Orang Nias
Peradaban orang Nias tidak bisa dilepaskan dari batu. Ketika mulai mendirikan pemukiman baru yang disebut banua, diawali dengan meletakkan batu banua, fuso newali dan batu Lawazihõnõ. Setelah itu mereka membangun rumah sampai pengukuhan diri sebagai pemegang tampuk kepemimpinan ditandai dengan batu. Peradaban orang Nias yang dimulai dari Gomo menggunakan batu sebagai unsur penting dalam kehidupannya. Peradaban ini berkembang dari Gomo ke seluruh Pulau Nia
Informanku dua orang cucu Lawazihönö |
Tiga batu penting di Bawömataluo |
Jahannes Hammerle, 1990 mengatakan bahwa puncak peradaban orang Nias adalah di Bawömataluo. Pembangunan Omo Nifolasara merupakan yang paling besar dan yang paling berkesan di seluruh Pulau Nias. Pembangunan raksasa ini dengan pasti dapat digolongkan diantara arsitektur yang paling sempurna di Nias Selatan (Viaro, 1980). Koran Batavia terbitan 1936 memberikan headline sebuah pertualangan melintasi Sumatera dan Nias yakni Bawömataluo pusat kebanggaan Nias Selatan.
Beranjak dari premis-premis di atas mari kita memasuki Bawömataluo dari Orahili lewat hamparan batu-batu. Masuk ke Bawömataluo dari Orahili kita akan menyaksikan tangga-tangga yang terbuat dari batu-batu pahatan. Para pelancong di tahun 1930an memberikan deskripsi yang detil tentang tangga menuju Bawömataluo.
Tangga batu ini sangat curam terdiri dari empat bagian yang menjadi akses menuju Bawömataluo. Masing-masing keempat bagian ini terdiri dari 200, 225, 200 dan 77 anak tangga.
Di masa lalu, banua ini juga dikelilingi oleh tembok pembatas batu dan pagar bambu duri yang lebat, namun pihak pemerintahan Belanda berwenang menolak eksklusivitas penduduk tersebut, sehingga pagar dan tembok pembatas tersebut menghilang.
Tangga
batu menuju Bawömataluo, dengan latarbelakang Orahili, 1936 |
Namun untuk mencapai banua Bawömataluo kita masih harus menaiki tangga batu yang curam. Seluruh permukaannya dilapisi dengan batu. Pasti merupakan pekerjaan yang sangat berat untuk membawa ribuan batu yang diperlukan. Tapi ini juga diakhiri oleh "kompeni" pada tahun 1908. Di tengah trotoar, banyak terjadi perombakan letak batu-batu manumental yang bertujuan untuk mengakhiri kekuasaan balö zi’ulu seperti daro-daro rajo z’iulu dan tarahösö.
Penarikan darodaro Saönigeho, 1914 |
Di sana-sini kami juga menemukan spesimen pahatan batu yang indah di depan rumah-rumah sepanjang alun-alun, beberapa darodaro tempat duduk arwah orang mati dihiasi mawar, motif sulur atau jalinan. Kami juga kadang-kadang melihat peti batu yang diukir dengan indah, tiruan yang setia dari peti besi antik, dan bahkan perlengkapan dan pegangannya tidak cacat, begitu pula kuncinya, yang seolah-olah digantung pada rantai, dipasang di batu berikutnya. Peti ini digunakan untuk menyimpan uang dan perhiasan emas, mungkin juga kadang-kadang untuk tengkorak.
Darodaro Saönigeho yang sudah ditarik |
Namun ada juga hiasan batu yang bagus di Orahili dan Bawömataluo yang pernah menjadi banua terkuat di Nias Selatan. Rumah yang sangan indah ini, yang dibangun oleh Saönigeho, dan dianggap sebagai rumah terbesar dan terindah di Nias. Untuk tujuan ini kita menemukan beberapa darö-darö yang hebat, yang khususnya menonjol dalam pikiran Saönigeho; menarik megalit seberat berton-ton ini ke bukit curam tempatnya Bawömataluo. itu merupakan tugas yang sangat berat, menggunakan kabel rotan dan roller kayu, sementara ratusan orang menarik batu raksasa itu. Ada juga tiang-tiang batu setinggi beberapa meter, yang didirikan oleh para si’ulu yang sudah meninggal semasa hidup mereka untuk mengabadikan nama mereka setelah kematiannya, sebuah batu bundar meja yang bertumpu pada empat tiang batu, dan tiang batu bundar berukir yang mengingatkan pada lingga. Tiang-tiang tersebut berfungsi untuk menggantung topi dan pedang si’ulu, yang melambangkan kekuasaannya di depan rumahnya.
Hampir tidak dapat dihindari bahwa ketika
mengunjungi Nias Selatan, kita akan merenungkan dari mana asal mula penggunaan
batu secara ekstensif, yang tidak pernah terjadi sebelumnya di wilayah lain di
nusantara. Apakah ini pengaruh bangsa
Mongol yang pernah bercampur dengan penduduk Nias Selatan? Atau itu asli? Hal ini tidak dikecualikan. Di masa lalu, warga dipaksa
untuk terus-menerus menempatkan diri mereka dalam posisi perlawanan satu sama
lain, dan terkadang melawan ekspedisi orang luar yang cenderung mencuri manusia. Maka tidak heran jika batu
sempat digunakan sebagai alat bantu dalam persiapan pertahanan.
Pandangan
ekskatoligis orang Nias jaman dulu mereka mendirikan batu-batu buat orang
meninggal khusunya bagi para sesepuh yang dianggap sebagai representasi
leluhur. Batu didirikan bukan hanya sekedar menghormati orang mati di Nias
melainkan dianggap sebagai simbol kehadiran (representasi) orang mati (nenek
moyang) di tengah-tengah orang hidup, B. Laiya, 1983.
Mengenal Hombo Batu dan Kisah Dibaliknya.
Hombo batu di Bawomataluo Foto Schrodör 1917
Keunikan hombo batu di Bawömataluo, jika dipotret dari berbagai sudut selalu menghasilkan keindahan yang sangat estetik. Ada beberapa foto yang memberikan kesan yang sangat estetik tentang hombo batu di Bawömataluo seperti yang terlihat dalam foto ini. Hombo batu artinya lompat batu bukan loncat batu, orang yang melompat disebut si fahombo sedangkan aktivitas melompat disebut fahombo. Ada dua bagian penting pada hombo batu yaitu tarahösö (bukan tandahösö) dan hombo batu itu sendiri. Hombo batu di Bawömataluo dulu dan sekarang terdapat perbedaan, dulu memiliki dua tarahösö dan yang sekarang satu tarahösö. Dua tarahösö ini memiliki fungsi pada penggunaannya. Seperti terlihat pada foto berikut ini.
Tarahösö pada mulanya adalah dua, satu digunakan sebagai tarahösö lompat batu dan satu digunakan menjadi tumpuan kaki balö zi'ulu. Setelah konfrontasi Saönigeho dengan Belanda akhirnya tarahösö tempat berdiri balö zi'ulu di hancurkan untuk menghilangkan legitimasi kekuasaannya. Darodoro balö zi’ulu yang berbentuk slinder digeser ke samping sehingga pengaruh balo zi’ulu mulai melemah.
Tarahösö di bawagoli Bawömataluo, Foto Schrodör 1917 |
Tarahösö untuk latihan
anak-anak muda juga dihancurkan untuk mengurangi pengaruh pemuda dalam
kelompok sosial samui.
Seorang Balö Zi'ulu sedang berdiri di atas tarahösö,
Sumber Foto Tropenmuseum
Seorang yang sedang berlatih fahombo, Sumber Foto Tropenmuseum
Pada
awalnya hombo batu menjadi penentu
status sosial seseorang. Orang yang bisa melompati hombo batu maka mereka masuk dalam strata sosial yang disebut
"ono matua" (pemuda) yang
lebih kita kenal ono matua fotuwusö.
Dari sini ada seorang pemimpinnya yang disebut "Balö nono matua" sama seperti strata si'ila dan si'ulu
memiliki balö. Kelompok ono matua ini semuanya sudah mampu
melompati hombo batu.
Ada satu catatan yang ditulis dalam bahasa Belanda sekitar tahun 1890 mengatakan bahwa para pelompat itu membawa senjata tombak dan pedang saat mereka melompat. Dari sini kita menyimpulkan bahwa ini merupakan simulasi ketangkasan dalam medan perang. Jadi hombo batu bukan simulasi untuk menikah.
Ketika seseorang pergi molau horö maka ritual yang dilakukan
"berdoa" kepada adu horö
(keterangan ini bisa dibaca dalam buku Hikaya Nadu, Museum Pusaka Nias,
informannya kebetulan orang tua saya sendiri).
Setelah seseorang pergi molau horö (berperang) dan membawa kepala musuh maka ia tidak akan langsung menuju rumahnya. Ia akan menunggu di luar banua lalu ia fahohoi. Kemudian setelah rajo zi'ulu mendengarnya ia mempersiapkan penyambutan dan memberikan hadiah berupa emas dan kalung yang kita kenal sekarang dengan sebutan kalabubu. Seremoni ini menjadi pengukuhan seseorang masuk dalam strata sosial yang disebut "Samui".
Lalu setelah selesai penyambutan, maka orang yang baru pulang dari perang tadi melompati hombo batu. Maka jika diamati dalam atraksi budaya maluaya di Bawömataluo, atraksi hombo batu selalu dilakukan saat akhir tidak pernah di awal karena melihat historis tadi.
Saat itulah ono matua yang baru pulang dari perang dikukuhkan namanya (diberi julukannya) lalu ia berhak memasuki kelompok "samui" dan kelompok samui ini menjadi cikal bakal kelompok si'ila. Keberadaan samui sangat vital sekali dalam budaya Nias.
Dalam beberapa seremoni seperti acara yang disebut "fananö fakhe" samui maluaya (tari perang) bersama si'ulu dan sato dan mereka memakai öröba tefaö dan pada topi di tancapkan daun pelem dan pada rago mereka (bulatan pada pedang) ditancapkan lagene.
Faluaya Siöligö, 1932 |
Kalabubu dulunya merupakan tanda pembedaan bagi mereka yang telah ikut berperang membunuh musuh dalam pertempuran. Kalabubu merupakan lencana mereka, Sumatra 1927. Bukan sebagai pelindung leher.
Anak-anak
muda Bawömatauo yang mencintai budaya lompat batu masih tetap melatih
ketangkasannya lewat cara yang unik sekalipun kompeni telah merusak tarahösö mereka. Lompat batu merupakan
salah satu perangkat fisik yang penting yang memiliki fungis ritual bagi
masyarakat. Seorang pemuda yang bisa melompat batu akan mengikuti prosesi
dimana Panglima Tarian Perang Bawömataluo akan menerbangkan seekor ayam putih di
atas pemuda itu sambil mendoakan “Semoga engkau terbang bagaikan ayam jago
putih dan menginjak tanah dengan ringan”..
Penulis (berbaju Pramuka) sedang menonton latihan
lompat batu
Feldman
mendokumentasikan bentuk-bentuk tarian perang di Bawömataluo sebagai berikut:
1.
Fualö
2.
Faluaya Zanökhö
3.
Fahizale
4.
Fatele
5.
Famanu
6.
Mogaele
7.
Faluaya siölige
8.
Fahombo
Sampai sekarang hombo batu tidak memiliki korelasi untuk menentukan seseorang untuk menikah seperti yang biasa dinarasikan. Jadi, tidak ada ceritanya hombo batu menjadi syarat seseorang boleh menikah. Semoga tidak ada lagi narasi yang keliru tentang hombo batu, saohagölö.
Aku duduk di atas batu ini seperti duduk melihat keindahan negeri leluhurku yang aku ceritakan untuk generasi muda berikutnya karena ini adalah jati diri budaya kita. Batu ini ditempatkan disini untuk semua warga, duduk mana'a, menjaga dan melestarikannya. Dari sini aku memandang jauh sebuah batu sebagai tanda terbitnya matahari.
1. M. Hammerle, Johannes, 1990 Omo
Sebua
2. M. Hammerle, Johannes, 1995 Hikaya
Nadu
3. Feldman, Jerome A. 1977, The
Architecture of Nias, Indonesia With Special reference to Bawömataluo Village
4. Laporan Penelitian ITB, 1982 –
1983, Arsitektur Tradisional Nias Selatan
5. Sumatra, 1927.
6.
Soerabaijasch handelsblad 27-05-1936
7.
Soerabaijasch handelsblad 06-06-1936
8. Balai Arkeologi Medan, 2007
Tradisi Megalitik di Pulau Nias.
Komentar
Posting Komentar