RAI SÕMASÕMA RAI TUHO MBANUA
RAI SÕMASÕMA RAI TUHO MBANUA
Oleh : Marselino Fau
Pengantar
Sebuah pepatah bahasa Latin mengatakan “Defunctus adhuc loquitur”, artinya orang yang sudah mati pun masih bisa berbicara. Pepatah ini masih relevan sampai sekarang, mampu membawa kita pada satu refleksi atas kepantasan predikat-predikat yang kita sandang dan kita labelkan untuk diri kita sendiri. Keterbatasan pengetahuan kita sering membuat kita sulit menjadi kritis, bahkan kita cenderung menerima penuturan yang tak berdasar sebagai kewajaran. Karena itu kita harus mencari tahu landasannya, fakta-faktanya diuji agar validitasnya tidak meragukan lagi.
Pembicaraan orang yang sudah mati masih bisa “didengar” lewat karya-karya yang mereka tinggalkan. Kita bisa menemukannya lewat catatan-catatan orang yang menyaksikan dan menuangkannya dalam karya ilmiah, bahkan lewat foto-foto yang original yang telah dibuat seabad yang lalu. Dari fakta-fakta ini kita bisa menyimpulkan satu kondisi yang sesungguhnya.
Budaya adalah warisan leluhur kita yang menjadi jati diri kita. Salah satu budaya leluhur kita orang Nias adalah pemakaian rai (mahkota) seperti rai sömasöma, rai nandrulo dan simamao. Pemakaian rai menunjukkan status si pemakainya. Oleh karena itu agar kita bisa memahami budaya dengan benar kita harus mengetahui perbedaaan konsep-konsep yang digunakan di awal berdirinya banua sehingga budaya kita tetap terjaga.
Mitologi
Sömasöma
Ketika ilmu pengetahuan belum berkembang, setiap fenomena selalu dijelaskan dengan mitologi. Demikian halnya dengan para leluhur orang Nias, untuk menjelaskan fenomena budayanya menggunakan mite lewat penuturan kepada generasi berikutnya. Bunga sömasöma (sösöma) secara tradisional menjadi bagian dalam kehidupan orang Nias dan untuk menjelaskannya digunakan mitos yang terkait dengannya.
Karakter tanaman pembatas terungkap dalam mitos berikut ini. Bumi diciptakan dalam sembilan hari oleh: “Inada Si La’uma danö, Inada Si La’uma dao,” yang menikah dengan “Beghu ba balö n'ani, Beghu balö n'oho”. Mereka memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan. Putranya, Amada Tölogu ba luwaha”, pergi untuk tinggal di muara sungai, anak perempuannya, 'Inada Siraso ba luwa', sebaliknya, menetap di hulu; (luwa artinya sumber, asal muasal sungai).
Sömasöma ditanam sebagai pembatas kedua kawasan. Suatu hari emas milik gadis itu terapung di sungai, hingga tersangkut di tanaman itu. Wanita mencari emasnya; perjalanan itu memakan waktu dua kali sembilan hari hingga sampai di tempat di mana emas itu tersangkut. Namun sebelum itu pemuda itu juga telah sampai disana dan menemukan emas tersebut. Wanita itu meminta emasnya kembali, tapi pemuda itu menolak, dan bukannya mengembalikannya, dia mengambil gadis itu serta emasnya, dan mereka menikah sejak saat itu, Schröder, 1917.
Dari mitologi ini tanaman sömasöma memberikan informasi bahwa terbentuknya sebuah keluarga dimulai dari sini, merekalah yang menjadi leluhur awal. Tuho banua (inti banua) terbentuk dari sini, jadi yang memakai rai sömasöma adalah mereka sebagai tuho banua, inti pendiri suatu banua. Rai sömasöma menjadi simbol status bagi yang memakainya.
Tradisi Mengungkap Misteri Seseorang
Membangun sebuah banua ada tiga unsur yang memiliki peran penting yaitu si’ulu, si’ila dan ono mbanua. Di Bawömataluo status ketiga unsur ini sangat jelas di dalam bale (osali ndra ama) dimana mereka duduk sesuai dengan posisi dan tingkatannya. Jika kita melihat empat darodaro batu, itu diperuntukkan untuk si’ulu. Darodaro bulat diperuntukan khusus untuk tuha atau balo zi’ulu oleh karena itu dalam satu banua hanya ada seorang si’ulu yang disebut tuha. Sedangkan untuk si’ila mereka duduk di empat sudut bale dan di sudut kanan belakang disitu duduk balo zi’ila. Ono mbanua duduk di empat handauli bale. Selain bale, mahkota (rai) juga memberikan informasi tentang siapa yang memakainya apakah statusnya sebagai si’ulu, si’ila atau ono mbanua.
Untuk status si’ulu, si’ila ini ada konsep yang menjadi predikat mereka. Ada yang disebut ehomo banua dan ada yang disebut tuho banua. Ehomo banua adalah predikat bagi para si’ila. Faldman, 1977 mengatakan bahwa “The four highest ranking si'ila are stationed at the four corner pillars” (ehomo banua). Jadi si’ila disebut ehomo banua. Sedangkan tuho banua adalah sebutan untuk si’ulu. Terlihat dari gambaran perkawinan si’ulu, perempuan setelah menikah pindah ke kampung suaminya. Posisi si’ulu ini diungkapkan dalam peribahasa ini sebagai berikut : “Simatua tuho mbanua, sialawe laoyo mbanua” (Wolfgang, 1976) artinya si pria (si’ulu) adalah tuho mbanua, si wanita adalah laoyo mbanua. Dalam Kamus Nias-Indonesia tuho artinya pokok atau dasar sedangkan menurut Johannes, 1918 tuho artinya inti. Dari pengertian ini tuho banua dapat diartikan pokok atau inti banua. Tentu saja sosok yang menjadi pokok atau yang menjadi inti dalam banua adalah si’ulu. Jika membangun sebuah banua yang mengisiasi adalah si’ulu (tuho banua), dia mengumpulkan si’ila dan ono mbanua.
Rai (mahkota) yang menjadi identias seseorang kita bisa lihat dalam satu pepatah yang ditulis tahun 1892 sebagai berikut : “...... hiza domeda, a'oi manoho burusa, oi morai sömasöma....” artinya lihatlah tamu kita, semua memakai tombak bermata panjang dan memakai mahkota sömasöma. Selain itu Steinhart, 1937, menulis hoho tetang sömasöma sebagai berikut
So woladzi rai sömasöma, Ada mahkota setelah mahkota sömasöma
So dzimae bulu wanudza'a. Ada seperti daun fanuza’a (berbentuk segitiga)
Iwa’ö Laowö Dzamobörö, Kata Laowö Perintis
Iwa’ö Laowö Bamböröta Kata Laowö pada mulanya
Oleh karena itu untuk mengungkap siapa sosok yang memakai rai sömasöma bisa ditemukan dalam sepotong teks foere saat fa’ulu. Pada tgl 17 Juli 1981, Pastor Johannes mewawancarai Tafali Zagötö (Ölimeziwa), dan hasil wawancara ini telah didokumentasikan dalam buku Hilizamofo. Sepenggal teks foere yang dinyanyikan jika seorang mengadakan fa’ulu sebagai berikut :
Si'alawe
si bolowua, gaö íbe baulu nidanö, ibe baulu gana'ua.
Ono
si la'i, si matua, gaö ibe ba luaha nidanö, ibe ba luaha gana'ua.
Iwaö
Simadulo Hösi, Simadulo Oroi Watua,
Iwaö
khö Zilaharö Luo Gögömi,khö Zilaharö Luo Sambua:
"Tanő
zösöma tuho mbanua, bowo zösöma tuho mbanua,
hani-hanigö ba nidanö, hanigö ya ba gana'ua."
Dari teks ini kita mendapatkan informasi bahwa bowo zösöma adalah tuho banua artinya bahwa zösöma merupakan inti banua dengan kata lain yang menjadi inti banua adalah si’ulu banua. Tuho banua berbeda dengan ehomo banua.
Sömasöma dianggap oleh Stainhart sebagai tanaman ajaib yang ditempatkan di depan rumah ere, sementara Schröder menyebutkan salah satu mitos penciptaan dimana tanaman ini digunakan sebagai penanda perbatasan, sehingga fungsinya sama dengan pohon eho (Suzuki, 1959). Eho adalah pohon besar biasa digunakan orang banyak berteduh atau bernaung di bawahnya. Sehingga para si’ulu sering menggunakan nama itu menjadi identitasnya seperti Tuhogeho, Tugelazato yang mengindikasikan dirinya sebagai penaung banyak orang.
Sebuah foto yang memberikan informasi bahwa pemimpin di satu banua mengenakan sömasöma. Fato berikut ini adalah foto pemimpin yang mengenakan sömasöma, Schröder,
1917.
Hoofd van Balaekha, Laiba-dsjuaja, met sómasóma in het haar, Schröder, 1917 |
Di Bawömataluo beberapa foto orang yang mengenakan rai sömasöma dan yang mengenakan rai ini adalah para si’ulu. Sumber foto Tropenmuseum.
Sedangkan
foto berikut ini dua orang yang mengenakan rai,
yang pertama adalah Saönigeho
dan yang memakai rai sömasöma
adalah Fönazatulo
(Lawazihönö).
Siulu (Een groep Siulu's met hun verwanten te Bawomataloewo, Zuid-Nias) Foto Schröder, 1904 |
Fönazatulö adalah
sosok yang sangat penting saat membangun Bawömataluo. Setelah Orahili dibakar
oleh Belanda tahun 1863 kemudian mereka mencari pemukiman baru untuk mendirikan
banua. Saat memilih tempat apakah Baruzösifaedo
atau Bawömataluo
yang akan dipilih, Laowö
memberikan tugas ini kepada Fönazatulo. Fönazatulö memberikan
pertimbangan kepada Laowö bahwa
tempat yang cocok untuk membangun banua
baru adalah tempat yang sekarang ini Bawömataluo, bukan Baruzösifaedo.
Beliau
menggunakan tiga pertimbangan yaitu, tanah, air dan laut. Beliau mengambil
tanah dan air dari Baruzösifaedo
dan membandingkan dengan tanah dan air yang ada di Bawömataluo,
massa tanah dan air di Bawömataluo
lebih berat dibandingkan dengan Baruzösifaedo.
Selain itu Bawömataluo
lebih dekat dengan laut dibandingkan dengan Baruzösifaedo,
artinya untuk mendapatkan garam dan ikan lebih memudahkan bagi warga.
Untuk menghormati Fönazatulö
satu monumental yang diberikan kepadanya dengan mendirikan
batu dari arah terbitnya matahari (mataluo).
Batu itu dinamakan batu Lawazihönö sebagai simbol dari terbit mataluo seperti yang terlihat pada foto
ini.
Penulis berdiri di atas batu Lawazihönö di pintu gerbang Raya di Bawömataluo |
Selain itu nama keturunannya dijadikan sebagai ikon dalam peribahasa di Bawömataluo untuk mengenang jasanya. Nama Samalo’otefaö disejajarkan dengan Harimao Salawa yang dirayakan dalam tradisi setiap tujuh tahun. Famadaya
Harimao adalah simbol yang diarak oleh Bawömataluo, seperti yang dikatakan Feldman, 1977, “The Harimao is the Image for Bawomataluo and Villages within its ori”.
Peribahasa tersebut sebagai berikut :
Lafadaya lahugö-hugö zotöi Samalo’otefaö Diarak dikukuh-kukuhkan yang bernama Samalo’otefaö
Penutup
Pelestarian budaya sangatlah penting ditumbuhkan dan dipertahankan, agar jati diri kita semakin kuat dan tidak kehilangan identitasnya. Bagi para pelaku budaya dan generasi dari sejarah berdirinya banua, tentu memiliki warisan informasi yang dituturkan oleh leluhurnya beserta bukti-bukti faktual dalam bentuk benda, dokumentasi yang telah ditulis oleh para peneliti yang dapat disadurkan menjadi sebuah informasi yang memiliki validitas dan reabilitas.
Agar kekayaan budaya ini, rai sömasöma tidak punah, penulis membuat duplikasi rai sömasöma Lawazihönö agar para leluhur tidak kehilangan jejaknya. Sumbangsih karya ini diharapkan biasa menjadi landasan bagi generasi yang ingin menjadikannya untuk memperkaya khasanah budaya. Salam Lestari
Penulis memakai replika rai sömasöma Lawazihönö dan kalung zolozolo |
Daftar pustaka :
- Sundermann H., “Kleine Niassische Chrestomathie Mit Wörteryerzeichniss”, Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, Martinus Nijhoff, 1892.
- Schröder, E.E.W. Nias, Ethnographische, Geographische en Historische Aanteekeningen en Studien, E. J. Brill, Leiden, 1917.
- Steinhart,
W.L., Niassche teksten; met
Nederlandsche vertaling en aanteekeninge, 1937.
- Marschall, W., Der Berg des Herrn der Erde Alte Ordnung und Kultirkonflikt in einem indonesischen Dorf, Deutscher Taschenbuch Verlag, 1976.
- Feldman, J. A., The Architecture of Nias, Indonesia With Special reference to Bawömataluo Village, Columbia University 1977.
- Z. Laiya Stasi, dkk., Kamus Nias Indonesia, Pusat Pembina dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebuadayaa, 1985.
- Hämmerle J. M., HILIZAMOFO Penyebaran Keturunan Molo dari Eho Famoda Dano hingga Hiliamaetaniha, Yayasan Pusaka Nias, 2015.
- Hämmerle J. M., Das Herz von Hia spricht Die Urbevölkerung von Nias, Indonesia, Academia Verlag Sankt Augustin, 2018.
- Marwoto B. J & Witdarmono H., Provebia Latina Pepatah-Pepatah Bahasa Latin, Kompas, 2004.
- Suzuki, Peter, "The religious system and culture of Nias, Indonesia." Proefschrift Univ. Leiden, 1959.
Komentar
Posting Komentar